Bab 7 Kejadian di Gudang

1.8K 97 0
                                    

Suara gebukan terdengar dari arah gudang sekolah. Awalnya Nala tidak berniat untuk mencari asal suara itu ketika dia baru keluar dari toilet. Tapi suara rintihan kesakitan yang keluar dari bibir seseorang membuatnya ingin tahu.

Nala mendekat dengan gerakan ragu-ragu. Dalam pikirannya, tidak mungkin seorang guru menghukum siswa di dalam gudang, seolah terkesan bersembunyi. Lagi pula dalam era modern ini, pemukulan tanpa alasan yang jelas kepada seorang siswa bisa dikenai sangsi. Jadi bisa dipastikan bahwa yang ada di dalam gudang itu bukanlah guru.

Akal sehatnya mengatakan seharusnya dia segera melangkah menjauh menuju kelasnya. Dia tidak ingin diancam oleh seseorang jika dia melihat sesuatu yang tak layak untuk disembunyikan. Tapi hati nuraninya berkata sebaliknya. Siapa saja yang terdengar membutuhkan pertolongan, dia perlu memberikan bantuan.

Semakin mendekat, semakin terdengar jelas rintihan yang membuat tubuhnya menggigil. Dia harus menghentikan ini. Tanpa perlu mengintip, Nala melihat seorang cowok yang tengah terkapar dan di atasnya terdapat cowok lain yang sedang melayangkan jotosannya bertubi-tubi.

“Roland!” pekik Nala kaget karena ternyata cowok yang terkapar itu adalah teman sekelasnya sendiri. Seketika cowok pemukul itu berhenti dan menoleh. Dewa. “Kak Dewa, lo apa-apaan sih?!”

Nala tergopoh-gopoh mendekati Roland dan membantu cowok itu berdiri. Dia tidak menghiraukan Dewa yang memandanganya dengan tajam. Saat itu dia baru tahu bahwa ada Surya yang sedang duduk di atas meja sebelah kanan. Telinga cowok dingin itu disumpal dengan headset, tak peduli dengan adegan pemukulan yang ada di hadapannya. Seolah-olah yang ada di depannya adalah ayam yang sedang bertarung.

“Lo keterlaluan, Kak!” geram Nala sambil mengeluarkan tisu dari saku bajunya. Gadis itu menyusut darah yang keluar dari sudut bibir Roland. Ketika Roland sudah sanggup berdiri dengan sempoyongan, Nala ikut berdiri dan dengan pongah menatap Dewa. “Sok jagoan lo ya. Kalau dia mati gimana, hah?”

Dewa dan Surya tertawa penuh lecehan. “Kalau nggak ada gue di gudang ini, gue harap lo nggak pernah masuk ke sini.” Dewa berucap serius.

“Gue nggak akan ngebiarin cowok brengsek kayak kalian menindas orang lain seenaknya. Dia itu anak orang tahu nggak?!”

“Ya kali anak monyet!” gumam Surya enteng.

“La, yuk deh.” Roland berusaha menggapai lengan Nala untuk mundur dan mengajak gadis itu keluar dari gudang itu. Tapi mata Dewa lebih cepat menatapnya.

“Lo keluar sekarang!” perintah Dewa kepada Roland. Roland tak punya pilihan lain. Dia masih takut berhadapan dengan Dewa. Tapi dia juga tidak tega membiarkan Nala berada seruangan dengan dua cowok paling berani di sekolah.

“Gue keluar. Tapi kalau lo sampai berani ngapa-ngapain Nala...”

Dewa sudah bersiap menonjok Roland lagi tapi Surya menghalanginya. Dengan gerakan dagu, Surya menyuruh Roland keluar. Melihat gelagat Roland yang hendak menjauh, Nala ikut berbalik namun pergelangan tangannya tertahan oleh genggaman Dewa.

“Lepasin!” Nala membalas tatapan Dewa dengan berani. Dia mengibaskan tangannya beberapa kali namun Dewa masih enggan melepaskannya. Sedangkan Surya dengan tenang keluar dari gudang seolah mengerti kalau Dewa butuh berdua saja dengan gadis yang lagi digandrunginya itu.

Ketika tinggal mereka berdua, Dewa melepaskan genggamannya. “Ngapain lo di sini?” tanyanya dengan gaya tenang. Tak takut sekali pun ada yang mengetahuinya baru saja memukuli Roland. “Harusnya lo nggak perlu ikut campur urusan cowok.”

“Lo nyakitin orang lain dan lo minta gue nggak ikut campur?”

“Lo nggak tahu apa yang udah dia lakuin.”

“Nggak peduli apa yang udah dia lakuin. Tapi mukulin Roland jelas sesuatu yang salah. Jangan bilang lo nggak bisa ngebedain mana yang baik dan mana yang buruk.”

Dewa tersenyum menggoda. Melihat Nala marah, entah kenapa membuatnya geli. Rasa tertariknya semakin menjadi-jadi. “Gue ngerasa semakin hari gue semakin naksir lo. Lo juga gitu kan?”

Untuk kedua kali, Nala terenyak dengan pernyataan Dewa. Saat dibalut oleh pikirannya sendiri, dia baru menyadari bahwa Dewa sudah demikian dekat dengan dirinya. Spontan, Nala mundur gelagapan sampai punggungnya terantuk tembok.

“Lo emang menarik, Kak. Tapi gue nggak pengin punya rasa apa pun sama lo. Jadi berhenti deketin gue. Jangan bikin gue suka sama lo,” ucap Nala dengan suara gemetar. Dadanya berdebar tak beraturan.

Dewa tersenyum lembut. Tangannya terulur mengusap rambut panjang Nala penuh kasih. “Tapi gue tahu lo suka gue. Gue nggak akan maksa dan akan tunggu sampai lo bisa nerima rasa yang ada di diri lo buat gue.”

***

Ata : Minggu lalu lo nggak jadi latihan, bener kan? Bu Endah bilang lo aja yang nggak hadir.

Sebuah pesan masuk sekitar pukul delapan malam. Sejak sore sampai malam, Nala dibalut kegalauan. Dia tidak berminat untuk mengerjakan apa pun. Bahkan makan pun malas. Satu jam yang lalu Fara meneriakinya kalau drama korea kesukaan mereka sudah mulai. Tapi Nala menjawab berteriak kalau dia akan nonton online saja karena malam ini dia malas nonton.

Buku-buku pelajarannya hanya dilihat sekilas saja. Kebetulan juga malam ini tidak ada tugas sekolah yang menumpuk. Hanya tiga soal matematika dari Pak Nyamid. Dan itu ya ampun, Nala sampai mengusap peluh mencari jawabannya.

Setelah dia menata buku yang harus dibawanya esok, ponselnya berdering menandakan pesan. Nala membaringkan badan dengan selimut tebal yang membalut tubuhnya sampai dada. Saat sudah menemukan posisi terenak, dia mengetikkan balasan.

Nala : Aku datang kok, Kak. Cuma belum sempat Bu Endah datang, aku bad mood duluan. Jadi aku mutusin pulang aja.

Ata : Bad mood kenapa? Gara-gara Dewa?

Nala mendekap ponselnya karena terkejut Ata menduga setepat itu. Apakah Dewa yang menceritakan kejadian itu kepada Ata? Apakah mulut Dewa seember itu?

Nala : Kenapa Kak Ata mikir aku bad mood gara-gara Kak Dewa?

Ata : Gue yang minta lo nemuin Dewa waktu itu.

Nala : Iya sih, dia agak ngeselin.

Ata : Lo nggak suka dia? Kenapa?

Nala : Dia berpotensi bikin aku suka sama dia.

Ata : Apa salahnya suka sama dia?

Nala : Insting aku bilang kalau dia bakalan nyakitin aku.

Satu menit. Limat menit. Sepuluh menit. Satu jam. Tak ada balasan dari Ata lagi. Padahal Nala ingin tahu respon Ata atas pernyataannya. Belakangan dia panik sendiri. Kenapa dia semudah itu berpendapat buruk tentang Dewa? Kalau Ata menceritakan hal itu kepada Dewa, Dewa bisa lebih gencar lagi mendekatinya. Tak ingin pusing memikirkan Dewa, Nala memilih untuk memejamkan mata.

Kamu jangan hadir di mimpiku, Kak.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang