Bab 24 Bukan Ingkar Janji

1.4K 62 3
                                    

Pukul dua siang. Dewa kelabakan saat teringat akan janjinya kepada Nala. Dia lupa datang ke rumah pacarnya pukul sepuluh pagi. Sepuluh panggilan dan beberapa pesan yang baru saja dia tahu. Sedari pagi saat dia saling mencurahkan hati dengan Aira, dia memang men-silent ponselnya karena tidak ingin ada yang menganggu pembicaraan mereka.

Dengan gerakan cepat, Dewa membuka matanya lebar-lebar karena tertidur selama beberapa jam. Padahal sebelumnya, mana pernah dia tidur siang. Cowok itu membersihkan diri seadanya kemudian menyambar dompet, ponsel, dan kunci mobil.

“Mau ke mana?” tanya Aira yang masih berada di atas tempat tidur. Gadis itu ikut terbangun karena gerakan Dewa.

“Gue ada janji sama Nala. Lo di sini aja. Jangan pernah kembali ke rumah lo selama gue booking lo. Nanti sore gue anterin ambil barang-barang lo.”

Tanpa menunggu jawaban Aira, Dewa berjalan cepat dan keluar dari kamar. Aira tertegun sebentar. Nala? Siapa Nala? Pacar Dewa?

Sementara di tempat lain, Dewa mengendarai mobilnya secepat mungkin untuk meminta maaf pada gadisnya. Dia terlambat empat jam. Sempat terpikir dia akan mengirim pesan saja tanpa harus menemui Nala. Tapi rasa bersalahnya membuatnya meletakkan kembali ponsel dan memilih untuk segera sampai di rumah Nala.

Dewa sedikit penasaran dengan mobil yang terparkir di pinggir jalan depan rumah Nala. Sepertinya dia pernah melihat mobil ini. Mobil yang sedikit dimodifikasi dengan warna tertentu. Sayangnya dia lupa dan tidak berniat untuk mengingatnya.

Dewa turun dari mobil kemudian mengetuk pintu yang langsung dibuka oleh asisten rumah tangga Nala.

“Nala ada?”

“Ada, Mas. Itu di teras samping.” Aini mengajak Dewa ke tempat Nala berada. Dari pintu ruang keluarga, Dewa hanya melihat Nala sedang duduk sendiri sambil membuat hiasan dari kain flanel.

Semakin mendekat, Dewa semakin mendengar pembicaraan dua orang yang menyadarkannya ternyata Nala tidak sendiri. Langkah kakinya menjadi lebih cepat karena ingin tahu Nala sedang bersama siapa.

Tepat ketika dia menoleh, Dewa melihat Afkar duduk berdampingan dengan gadisnya di sebuah kursi panjang sambil sama-sama memegang kain flanel.

“Mbak Nala, ada temennya nih,” ucap Aini seketika membuat Nala menoleh kemudian membeku di tempat. Aini berlalu setelah Nala melihat tamunya.

Kalau tahu Dewa akan datang, rasanya Nala ingin mengusir Afkar satu jam yang lalu. Dia memang tidak suka dengan kecemburuan dan sifat posesif Dewa yang berlebihan. Tapi dia juga berusaha untuk menghindari perselisihan di antara mereka dengan tidak membuat Dewa berpikir macam-macam. Dan saat ini rasanya terlambat untuk membuat Dewa tidak melihat Afkar.

“Gue nggak ganggu, kan?” tanya Dewa kaku menyadarkan Nala dari keterkejutan.

“Nggak lah. Kita di sini lagi santai aja. Iya kan, La?” Afkar menjawab terlebih dulu dengan tenang. Tak ada ketakutan atau keterkejutan sama sekali dalam wajah Afkar padahal yang datang adalah pacar Nala. Nala sampai bingung bagaimana mungkin Afkar bisa bersikap sesantai itu.

“I-Iya,” jawab Nala gelagapan kemudian berdiri. “Gue sama Kak Afkar lagi iseng bikin bunga. Em, gue nunggu lo dari tadi.” Sebenarnya Nala tidak ingin mengucapkan kalimat terakhirnya itu di depan Afkar. Tapi untuk meredakan kegugupannya sendiri sedang terpergok dengan cowok lain dan Dewa terlihat marah, dia harus bisa membuat Dewa merasa bersalah dengan berkata demikian.

“Sori, gue ada kepentingan mendadak. Dan gue nggak buka hape sama sekali,” jawab Dewa masih dengan suara dingin. Pandangan cowok itu berubah-ubah dari memandang Nala lalu Afkar. Ketika tatapannya berhenti pada sorot mata Afkar, mereka berpandangan cukup lama dalam keheningan dan penuh ancaman.

“Iya, nggak apa-apa, Kak. Gue juga ngira begitu. Oh ya, gue ambilin minum dulu ya.” Tanpa menunggu jawaban Dewa, Nala melesat ke dapur untuk membuat minuman dingin sekaligus mendinginkan kepala dan hatinya yang tak tenang. Sebelum kembali, dia berniat memanggil kakaknya untuk menemaninya mengobrol. Dia tidak sanggup bertiga saja dengan situasi yang menegangkan.

“Ada apa, La?” tanya Fara yang sedang tidur tengkurap sambil bermain ponsel.

“Kak, tolongin gue. Ada Kak Dewa dan Kak Afkar. Gue tadi nungguin Kak Dewa tapi yang datang malah Kak Afkar. Sekarang Kak Dewa dateng sebelum Kak Afkar pulang. Gue takut mereka berantem.”

Fara tertawa ringan. “Yaelah, baru aja anak SMA udah pake rebutan cewek. Udah kayak rebutan bini aja,” jawab Fara enteng kemudian keluar lebih dulu menemui kedua teman Nala. Sementara Nala mengambil minumannya baru menyusul kakaknya.

“Kenalin, gue Fara, kakaknya Nala.” Fara menyalami dua cowok itu sambil bergumam dalam hati. Keren juga dua cowok yang ngincer Nala. Beneran mereka masih SMA? Fisik mereka udah seperti anak kuliahan aja.

Dewa dan Afkar menerima uluran tangan Fara sambil berusaha tersenyum. Meskipun tidak bisa tersenyum tulus karena keduanya masih tidak ada yang mengalah untuk pulang.

“Lo Dewa? Cowoknya Nala?”

“Iya, Kak,” jawab Dewa pendek.

“Dan lo, lagi ngejar Nala juga?” Fara menahan senyum. Tapi buru-buru berucap lagi melihat Afkar seperti tak menanggapi guyonannya. “Sori, gue bercanda.”

“Gue emang lagi ngejar Nala,” jawab Afkar tak mau malu. Kalau Fara mampu menebaknya demikian, dia tidak boleh mengelak lagi untuk menyelamatkan harga dirinya. Lagi pula buat apa malu mengungkapkan apa tujuannya sering menemui Nala. Dia justru ingin orang tahu tujuannya yang sebenarnya. Jawaban jujur Afkar telak membuat Fara dan Dewa melongo heran.

Dewa tersenyum sinis. “Sebegitu nggak tahu malunya lo ngakuin itu. Di depan gue, cowok Nala.” Dewa menekankan dua kata terakhir dengan sura lebih jelas.

“Baru cowok, kan? Bukan suami?”

Dewa membeliak mendengar ucapan Afkar yang terkesan tidak akan mundur meski Nala sudah memiliki pacar. Hal itu menyadarkan Dewa bahwa Afkar sedang menantangnya. Seperti tidak langsung mengajak berebut untuk mendapatkan hati Nala yang sesungguhnya.

“Lo pengin ngerebut Nala dari gue?” suara Dewa berubah meninggi. Sementara Fara masih membisu melihat perseteruan dua cowok di hadapannya.

“Bukan ngerebut. Tapi kasih kesempatan Nala buat milih mana yang menurutnya lebih baik untuk dijadiin pacar.”

“Jadi maksud lo gue nggak baik dijadiin pacar Nala?” Dewa berang. Saat itu Nala baru sampai. Gadis itu menegang mendengar suara Dewa yang sedang marah.

Melihat raut wajah adiknya yang penuh kekhawatiran, Fara berdeham. “Udah-udah, jangan berantem.” Fara berdiri. “Gue sebenarnya nggak pengin ikut campur. Tapi gue saranin pertama buat Dewa, jangan suka ngekang Nala secara berlebihan. Nala masih bebas bergaul sama siapa aja.” Pandangan Fara beralih pada Afkar. “Dan yang kedua buat lo, Af, lebih baik cari cewek yang masih jomlo. Jangan ngejar cewek orang lain. Meski pacaran nggak ada bukti surat tertulis, tetep aja itu perbuatan nggak baik.”

Afkar tersenyum ringan kemudian berdiri. “Makasih sarannya, Kak. Tapi sori, gue nggak bisa mundur. Gue udah jatuh hati. Jadi gimana dong?” Afkar menghela napas panjang. “Gue pamit,” lanjutnya santai tanpa menghiraukan tiga orang yang memandangnya penuh keheranan.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang