Seorang gadis tersenyum mengembang di saat kedua sahabatnya melemparkan banyolan-banyolan konyol yang membuat hari-harinya menjadi ceria. Kehidupan seperti inilah yang diimpikannya selama ini. Masa SMA yang penuh dengan kegembiraan dan tidak dibumbui oleh percintaan yang terlalu dalam.
“Hah? Serius Kak Lexi mau ngajakin lo kawin setelah lulus SMA?” Bianca melotot sampai biji matanya hampir keluar.
“Iya. Emang sarap tuh cowok. Mana mau gue kawin umur 18 tahun. Ortu juga pasti ngelarang.” Dinna menjawab dengan wajah memberengut.
“Emang apa alasan Kak Lexi pengin cepet-cepet nikah sama lo, Din?” tanya Nala sambil tersenyum lembut.
“Dia bilang pengin ena-ena sama gue.”
“Konyol! Mana ada kawin cuma mau ena-ena doang. Emang perlu disunat lagi tuh cowok!”
“Jangan keras-keras dong, Bi. Malu kalau ada yang denger.”
“Nah terus lo mau dikasih makan apa, sedangkan dia sendiri masih kuliah.”
“Nasi lah, Bi,” jawab Nala enteng. Kemudian mereka terbahak bersama. Menikmati masa SMA yang indah bersama-sama pula. Suka duka mereka lewati dengan saling menguatkan. Tak ada yang saling menjatuhkan. Semua saling menyokong dengan tulus.
Hari ini adalah satu tahun setelah kelulusan Dewa dan Aira. Setiap kali Nala teringat akan hal itu, gadis itu hanya tersenyum pahit. Dia berharap Dewa yang kini sedang menempuh kuliah di Australia bisa menjadi lelaki yang lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Sedangkan Nala memilih untuk menyendiri tanpa menerima cinta Afkar.
Di tempat yang berbeda di waktu yang sama, seorang gadis tengah berbahagia menggendong bayinya yang baru berumur tujuh bulan. Seorang bayi cerdas yang sanggup berlompatan di pangkuan ibunya dalam waktu lama tak peduli ibunya telah membungkuk karena kelelahan.
Tapi di balik kelelahan itu, ada kebahagiaan yang tak dapat ditebus dengan dunia sekali pun. Kasih sayangnya kepada sang bayi semakin hebat tatkala dia merindukan seorang lelaki yang tak pernah lewat dalam mimpi-mimpinya.
Seperti sebuah telepati, Dewa yang sedang menikmati kesedirian di pinggir Danau Burley Griffin, Canberra, tersentak tiba-tiba dengan debaran jantung yang tak beraturan. Lelaki itu segera menyambar ponsel dari saku celananya. Dia bingung harus menghubungi siapa. Akhirnya hanya nama ibunya yang terbaca dan tak pikir panjang, dia menekan tombol telepon.
Bukan hal yang membahagiakan meninggalkan ibunya dalam kesendirian karena ayahnya masih tetap ayahnya yang dulu. Ayah yang jarang pulang dan lebih memilih untuk menghabiskan banyak malam di rumah wanita simpanannya.
Kalau saja Dewa tidak ingin lari dari kenangan-kenangan bersama Aira dan Nala, dia tidak akan melarikan diri sejauh ini. Dia ingin tetap menjaga ibunya.
Tapi dia tak punya pilihan lain. Dia harus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik terlepas dari bantuan ayahnya kelak. Dengan warisan ilmu, dia meyakini segalanya akan lebih mudah untuk diraih. Tak lupa dia menyematkan janji itu pada dirinya sendiri. Tiga janji kepada wanita yang disayanginya.
Aku janji akan membawa kembali Papa ke hadapan Mama dan membuat Papa menyesali semuanya.
Aku janji akan menebus kesalahanku kepada Nala suatu hari nanti supaya aku tidak merasa seperti dikejar hutang karena rasa bersalah yang masih saja bersarang di hatiku.
Aku berjanji akan mencari Aira dan anakku kelak serta mengganti tahun-tahun perpisahan dengan tahun-tahun kebahagiaan agar bisa membahagiakannya selamanya.
Itulah janjinya.
Percayalah, itu tak akan butuh waktu lama.
Tunggu saja.
Tertanda, Dewa.
***
End
Akhirnya tamat juga ya. Makasih buat kalian yang udah menyempatkan waktu buat baca cerita ini. Salam dari Dewa, Nala, dan Aira.
Bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...