Bab 19 Dalam Kecanggungan

1.4K 64 4
                                    

“Lo ada pelanggan baru.” Aldi muncul di ambang pintu kamarnya. Aira sedang membereskan tempat tidur. “Jam tujuh.”

Aira hanya melirik Aldi sekilas lalu melihat jam dinding yang sudah menunjuk angka enam lebih seperempat. “Di mana?”

“Dia yang bakal jemput lo.”

Aira mendengus kesal lalu menjatuhkan diri di ranjang. Rasanya lelah hidup seperti ini. Hampir setiap malam jatuh ke pelukan satu lelaki ke lelaki lainnya. Belum lagi kalau kebetulan yang memesannya adalah lelaki muda dengan nafsu tinggi yang ingin mempraktekkan berbagai macam gaya, Aira sangat jijik dan muak. Dia harus menahan diri untuk tidak muntah kalau tidak ingin dimaki-maki.

“Ma, aku kangen Mama...” rintihnya di sela-sela tangis yang tiba-tiba membasahi wajahnya. “Kalau aja Mama tahu apa yang terjadi sama aku sekarang...”

Tapi menangis pun rasanya juga percuma. Dia sudah terjatuh dalam jurang yang dipenuhi sampah. Tak ada seorang pun yang mau menolongnya kecuali dia berusaha sendiri untuk melompat melampauinya.

Aira menghapus air matanya dan mulai berhias. Tak ada gunanya bersedih terlalu lama. Dia sudah bosan menderita dalam kesepian. Lebih baik dihadapinya saja hidupnya yang tidak pernah sesuai dengan harapannya.

“Dia udah dateng.” Suara Aldi kembali terdengar. Padahal baru beberapa menit yang lalu lelaki itu masuk kek kamarnya, sekarang sudah datang lagi.

“Tunggu sebentar,” jawab Aira malas.

“Layani dia dengan baik. Dia udah booking selama seminggu.”

Tangan Aira yang sedang menyapukan bedak ke wajahnya sendiri, mengejang. Gadis itu menoleh penuh kebingungan. “Apa-apaan lo terima dia selama seminggu? Gimana kalau orangnya sadomasokis? Lo mau bunuh gue?”

Aldi tertawa sinis tanpa suara. “Itu risiko lo. Gue sih cuma perantara.” Aldi mendekat dan berdiri di belakang Aira yang sedang duduk di depan kaca meja rias. Mereka saling tatap di dalam cermin. “Selamat menikmati malam-malam yang menegangkan, Sayang.” Aldi mengecup pipi kiri Aira kemudian berlalu dengan santainya tanpa rasa bersalah.

Aira meremas tangannya sendiri menahan luapan di dalam dada. Kalau boleh berteriak, dia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya di pantai lalu menenggelamkan diri meninggalkan dunianya yang hina.

Argh! Aira menyambar tas tangannya dengan sekali sentakan kuat lalu keluar dari rumahnya. Di depan pagar, sudah ada mobil yang menunggunya. Langkahnya yang semula cepat, kini melambat saat mendekati mobil itu.

Baru kali ini dia dijemput oleh orang yang memesannya. Biasanya dia akan naik taksi atau Aldi mengantar menggunakan mobil ke tempat di mana pemesannya telah menunggu. Keanehan ini membuat perasaan Aira menjadi tidak nyaman. Dia tersenyum miris di dalam hati mengibaratkan sedang dijemput oleh seorang pangeran. Tentu itu mimpi konyol yang tak akan pernah terwujud.

Aira berhenti di dekat jendela mobil. Dia menunggu sampai dipersilakan masuk. “Selamat malam,” sapanya sopan ketika dirasa seseorang yang di dalam tidak menyadari kehadirannya.

Perlahan kaca jendela itu turun. Lalu terpampanglah wajah seorang lelaki yang sama sekali tidak ingin ditemuinya. Aira tertegun dengan mulut sedikit membuka.

Dewa tak menoleh sedikit pun. Cowok itu menatap lurus ke depan. “Masuk,” perintahnya singkat dengan nada tak dapat ditawar.

Lama Aira berdiri membeku kebingungan dengan penuh tanda tanya. Dia tak pernah mengira bahwa yang memesannya selama satu minggu adalah Dewa. Pada saat Dewa bertengkar dengan Aldi di luar kamarnya beberapa hari yang lalu, Aira didera kepanikan karena tidak ingin dikenal oleh salah satu siswa di sekolahnya. Gadis itu masuk ke kamar mandi karena tidak kuat membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika seluruh warga sekolah tahu gadis macam apa dirinya itu. Karena itu dia tidak mendengar pertengkaran Aldi dan Dewa. Kenyataannya, Dewa tidak sejahat yang dikiranya akan menyebarkan aibnya.

“Perlu gue bukain pintu?” tanya Dewa dingin masih tanpa menoleh. Pertanyaan Dewa membuat Aira tersadar kemudian berjalan memutari mobil dan duduk dengan tenang meski dadanya bergemuruh.

Selama dalam perjalanan, tak satu pun di antara keduanya yang berbicara. Kalau boleh mengelak, Aira lebih memilih untuk mengembalikan uang sewa yang diberikan Dewa. Sayangnya semua uang itu ditransfer kepada Aldi, dan dia hanya diberi separuh oleh Aldi. Akhirnya Aira memilih untuk pasrah walaupun dia sangat malu harus melayani teman sendiri.

Selama bersekolah di SMA, Aira tentu saja tahu dengan sosok Dewa sebagai salah satu cowok terkenal di sekolahnya. Tapi cukup itu saja. Aira tidak mengikuti perkembangan apa pun dalam sepak terjang Dewa membuat para gadis jatuh hati. Aira tak sempat memikirkannya. Hidupnya sudah terlalu berat untuk dijalankan. Jadi tak ada waktu untuk mencari pacar seperti yang teman-temannya lakukan. Aira justru yakin bahwa Dewa-lah yang tidak mengenalnya sama sekali. Atau bahkan Dewa tidak menyadari keberadaannya. Ya, dia hanya sampah masyarakat yang sebaiknya disingkirkan. Jadi tidak perlu dianggap ada.

Tak sadar karena terlalu lama melamun, mobil Dewa telah berbelok ke sebuah apartemen sederhana di kawasan kampus terkenal. Aira turun dari mobil dan mengikuti ke mana pun Dewa berjalan. Tubuhnya menjadi panas dingin saat berjalan berdua dengan Dewa, apalagi ketika mereka berada di dalam lift, Aira sedikit memiringkan tubuhnya ketika Dewa meletakkan kartu akses di atas tombol lift. Saat itu aroma tubuh Dewa tercium membuat Aira resah bukan main. Ada apa denganku?

Kamar yang dituju Dewa tidak terlalu jauh dari lift. Masih dalam kesunyian, Dewa membuka pintu kamar itu dan baru menoleh kepada Aira. Hal itu membuat Aira tergeragap dan canggung.

Ketika Aira tidak segera masuk dengan mata yang bersorot gelisah, Dewa menggerakkan dagunya sebagai tanda meminta Aira untuk segera masuk. Aira menurut dengan langkah pelan. Lalu yang dia lihat pertama kali ketika baru satu kali melangkah adalah pintu toilet di sebelah kanan dan sebelah kiri ada dapur mini. Baru kemudian ruangan besar berukuran 25 meter persegi terpampang dengan furnitur yang lumayan bagus dan berwarna cerah. Di sebelah kanan ada ranjang berukuran besar berseprai putih. Tepat di depan ranjang ada lemari pakaian yang permukaannya dilapisi cermin.

Astaga! Dalam hati Aira mendesah. Itu berarti apa yang akan mereka lakukan bisa terlihat dari cermin itu.

Tak tahu harus melakukan apa, akhirnya Aira memilih untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan Dewa melepas jaketnya dan dengan santai berbaring di sofa sambil menghidupkan televisi. Aira dibuat kebingungan karenanya. Apa sebenarnya mau cowok itu?

Meskipun dia telah menjajakan tubuhnya selama hampir dua tahun, tapi dia bukan gadis yang bisa menggoda lelaki. Dalam setiap pekerjaannya, Aira hanya menunggu. Lalu kini, bukannya menyerangnya seperti yang dilakukan lelaki lain, Dewa justru asyik menonton pertandingan bola.

Aku harus bagaimana? Gumam Aira gelisah. Dia tidak mau bertanya. Tepatnya, dia belum ingin berkomunikasi dengan Dewa. Jadi biarlah dia menunggu saja sampai Dewa yang memulai apa yang diinginkan lelaki itu.

Menanti dalam kelelahan, Aira membaringkan tubuhnya. Lalu yang terjadi setelahnya, dia terlelap sampai pagi.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang