Bab 8 Siapa Ata?

1.7K 85 0
                                    

Hari Senin diawali dengan upacara yang melelahkan. Nala mengeringkan wajahnya yang berkeringat di toilet bersama Bianca dan Dinna. Gadis berambut ikal selengan itu menambahkan bedak di wajahnya yang telah dibersihkan. Jepit hitam dipasang di bagian kiri rambutnya. Sehingga tak ada poni yang menghalangi pandangannya.

“Gimana kelanjutan hubungan lo sama Kak Lexi?” tanya Bianca kepada Dinna. Gadis itu sedang menyemprotkan parfum beberapa kali ke tubuhnya sampai membuat Nala hampir bersin. “Lo diem-diem bikin gue penasaran juga ya. Jangan-jangan kalian udah jadian.”

“Belum ih, tapi Kak Lexi udah pernah ke rumah sih,” jawab Dinna agak malu. Gadis itu menghindari bertatap muka dengan Bianca.

“Lo diapelin dong?” tanya Bianca sekali lagi. “Gue jadi yakin bentar lagi Kak Lexi nembak lo,” lanjut Bianca sambil memasukkan parfum ke dalam saku kemejanya. Dinna hanya tersenyum. “Kalau lo gimana, La?”

“Gue? Kenapa gue?”

“Idih, pura-pura bego lagi. Hubungan lo sama Kak Dewa?”

“Emang gue punya hubungan apa sama dia? Nggak ada apa-apa kok.”

“Bukannya malem itu kalian jalan bareng? Dia nganterin lo sampai ke rumah kan?”

“Kok lo bisa tahu sih?”

“Lo lupa kalau gue masih nunggu jemputan gue di seberang jalan waktu Kak Dewa nyamperin lo?”

Nala berjalan lebih dulu untuk keluar dari toilet. “Iya, gue inget. Tapi perlu kalian tahu, gue nggak naksir sama dia dan nggak pengen deket-deket sama dia. Dia cowok kasar dan bikin gue selalu deg-degan.”

“Kak Dewa cowok kasar?” ulang Dinna tak percaya.

“Iya, gue pernah mergokin dia...” Nala tak meneruskan ucapannya. Meskipun dia tak berniat membalas perasaan Dewa, tapi dia juga tidak boleh menyebarkan apa yang pernah dilakukan Dewa. Dia tidak ingin Dewa dalam masalah. Kalau guru BK sampai tahu, Dewa bisa diskors.

“Mergokin apa?” tanya Dinna penasaran.

“Udahlah lupain. Nggak penting juga kali.”

“Tunggu-tunggu...” Bianca menghentikan langkah kedua temannya. “Lo bilang tadi lo... deg-degan? Apa artinya itu kalau lo nggak naksir dia? Mana ada cewek yang deg-degan kalau bukan sama cowok yang disukai?”

“Bi, kita bisa aja deg-degan karena takut, grogi, dan seribu macem alesan lain. Jadi jangan nyimpulin yang nggak-nggak deh,” jawab Nala menutupi perasaannya dari dua temannya.

Bianca sudah membuka mulutnya lagi untuk berbicara tapi seseorang di belakang mereka lebih dulu bersuara. Mereka menoleh.

“Kak Destia?” gumam Nala senang. Senyumnya mengembang.

“Gimana, La? Lo udah daftar ekskul musik?”

“Udah, Kak. Aku udah daftar ke Kak Ata.”

“Kak Ata?” Destia mengernyitkan kening, terkesan bingung.

“Iya, Kak Ata udah daftarin aku dan aku seneng bisa punya temen kakak kelas cewek. Kami sering chat juga di whatsapp.”

Wajah Destia yang awalnya bingung, perlahan berubah menjadi senyum simpul. Bagi Nala, gadis itu terkesan menyimpan sesuatu, wajah Destia terlihat sedang menahan tawa.

“Oke, kalau lo udah gabung, gue seneng. Kapan-kapan kita kolaborasi ya? Lo piano gue biola.”

Nala tersenyum kaku meski perasaannya mendadak tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu terjawab saat Destia berbalik setelah beberpa langkah menjauh.

“Oh, iya, La. Kayaknya lo perlu tahu kalau yang lo sebut Kak Ata itu... bukan cewek,” lanjut Destia kemudian tertawa ringan meninggalkan Nala yang berdiri membeku seperti patung.

Kak Ata bukan cewek? Jadi selama ini dia chat sama cowok? Cowok yang bahkan sampai sekarang belum pernah ditemuinya.

“La, lo kenapa?” Bianca mengguncang bahu Nala. Tapi Nala tak menghiraukan. Gadis itu tanpa memedulikan teriakan kedua temannya, setengah berlari menuju kelasnya.

Sesampainya di kelas, Nala merogoh tas untuk mencari ponsel. Perasaannya kini campur baur menjadi satu. Antara kaget, kesal, dan... malu. Tak sadar dia mengusap kedua pipinya yang panas. Dengan jari gemetar, dia mengetik pada nomor Ata.

Nala : Kamu... cowok?

Tak berapa lama pesannya berbalas.

Ata : Baru nyadar?

Gemuruh dalam dadanya semakin menjadi. Dia menelan ludah berkali-kali. Saat itu Bianca dan Dinna tiba dengan kening berkerut.

“Lo kenapa sih, La?” berganti Dinna yang bertanya.

“Duh, gue malu banget, Din, Bi,” desah Nala dengan wajah tertekuk. “Selama ini gue chat sama kakak kelas, gue pikir dia cewek. Ternyata cowok.”

“Kok bisa sih, dasar bego.” Bianca tertawa diikuti oleh Dinna. Bukannya bersimpati atas musibah konyol yang menimpa Nala, keduanya malah menertawakan keluguan Nala.

Tanpa memedulikan tawa Bianca dan Dinna, Nala bertekat untuk bertemu dengan cowok yang bernama Ata itu. Dia tidak mau lagi main sembunyi begini. Meskipun sebenarnya dia ingin bertemu dengan Ata pada pertemuan kedua saat latihan musik nanti, kini dia tidak sabar lagi.

Nala : Aku mau ketemu hari ini juga.

Ata : Oke, gue tunggu di gudang dijam istirahat.

Gudang? Tidak ada tempat yang lebih buruk? Batin Nala curiga. Membaca kata gudang, membuatnya teringat akan peristiwa yang dilihatnya di gudang beberapa hari yang lalu. Saat dia melihat Dewa menggebuki Roland. Jangan-jangan Ata itu adalah... Dewa?

Nala : Aku nggak mau ketemu di gudang. Di kantin aja.

Ata : TEMUI GUE DI GUDANG

Nala tak membalas lagi pesan itu. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan Ata untuk bertemu di gudang. Meski perasaannya menjadi jauh tak enak, dia berusaha bersikap santai dengan menarik napas panjang dan berat. Pelajaran di jam pertama dan kedua terasa berjalan lambat.

Nala menyembunyikan rencana pertemuannya dengan Ata dari kedua temannya. Dia pamit akan ke toilet dan menyuruh Bianca dan Dinna untuk menunggu di kantin saja saat bel tanda istirahat berbunyi.

Kakinya terasa kaku saat melangkahkan kaki ke arah gudang. Dia meneguk ludah berkali-kali hanya untuk meredakan debarannya sendiri. Saat dia telah berdiri di samping pintu gudang, aroma rokok menguar membuat sesak pernapasannya.

Nala membuka hati-hati pintu itu. Di hadapannya, terpampang punggung seorang cowok yang sepertinya sudah sangat dikenalinya. Ketika cowok itu berbalik, Nala hampir jatuh kalau saja tidak perpegangan pada daun pintu.

“Hai, Aretha Nala Handoyo!”

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang