Bab 9 Keluarga Dewa

1.6K 87 2
                                    

“Hai, Aretha Nala Handoyo!”

“Kak Dewa?” Nala menegakkan badannya supaya Dewa tidak menangkap kegugupan yang bersarang di wajah dan gerak-geriknya. “Jadi lo emang niat nyembunyikan identitas lo dari gue? Dan lo bohongi gue dengan nama Ata?”

“Sebenarnya gue nggak bohong sih. Nama Ata gue ambil dari nama belakang gue, Dewanata. Tapi selebihnya gue emang pengin ngerjain lo. Dan gue berhasil.” Dewa tersenyum manis.

“Gue jadi sebel sama lo. Lo sering banget bikin gue kesel. Emang gitu ya cara lo cari perhatian gue?”

Dewa tertawa ringan. Dia menatap Nala dengan girang. Bahagia kalau bisa membuat gadis itu marah dan mengomel. “Lo bisa nggak jangan bersikap begini? Tahu nggak, lo jadi semakin menarik dengan omongan lo yang terlalu tepat sasaran.” Bukannya salah tingkah dengan apa yang diucapkan Nala, Dewa justru tak sanggup menahan kegeliannya.

“Sebenarnya tujuan Kak Dewa itu apa sih ngelakuin ini semua?”

“Masih tanya lagi. Gue lagi ngedeketin lo.”

“Dengan cara iseng bin usil begini?”

“Awalnya sih emang mau main-main. Tapi sekarang jadi pengin seriusin lo.”

“Seriusin gue? Maksudnya?”

“Entar malam gue ke rumah lo.” Wajah Dewa kembali datar. Tampang cool-nya terlihat lagi. Bola matanya menatap Nala lekat-lekat.

“Tunggu deh,” Nala menghela napas panjang, “nggak kepikiran buat minta maaf sama gue, Kak? Lo udah bohongin gue lho. Lo nggak jujur sama gue.”

Dewa tersenyum. “Oke sekalian entar malem gue minta maaf ke lo ya. Lo mau dibawain apa? Makanan, minuman, atau... cinta?”

“Nggak usah ngegombal deh, Kak. Gue muak.”

“Oke kalau gitu gue bawa diri aja. Sekalian bilang sama nyokap lo gue mau makan malam di rumah lo. Dan pulang sekolah nanti, lo musti balik bareng gue.”

“Harus ya pulang bareng lo?”

“Harus.”

“Kenapa?”

“Karena lo sekarang cewek gue.”

***

Dewa membuka ponsel dan mencari sebuah video kesukaannya sejak beberapa minggu yang lalu. Video Nala saat bermain piano. Ketika Nala bertanya atas dasar apa dia menyukai gadis itu, sebenarnya Dewa belum pasti terhadap perasaannya sendiri. Awalnya dia hanya penasaran dengan foto yang ditunjukkan oleh mamanya. Wajah gadis cantik dengan kulit putih mulus tanpa make up. Wajah polos.

Hal itulah yang membuatnya tergerak untuk mendatangi kelas Nala dan mendapati gadis itu tidak begitu berekspresi mendapati kedatangannya. Jangankan berteriak histeris, tersenyum saja tidak. Labelnya di sekolah sebagai cowok yang disukai oleh banyak gadis, anjlok seketika bagi dirinya sendiri saat menyadari betapa cueknya Nala menyambutnya. Gadis itu justru mengerutkan kening seolah-olah yang mendatanginya adalah tukang kredit.

Sejak saat itu Dewa merasa terusik dengan keberadaan gadis belia bernama Aretha Nala Handoyo. Dia belum menentukan tindakan apa pun untuk mendekati Nala saat Nala lebih dulu menghubunginya dan menyangkanya sebagai Afkar, ketua OSIS sekaligus ketua ekskul musik.

Dewa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ada ide konyol untuk mengelabui Nala dengan mengatasnamakan diri sebagai Ata. Yang dia tidak tahu ternyata Nala bukan hanya tidak bisa menebak siapa Ata sebenarnya, gadis itu malah menyangkanya sebagai perempuan. Dewa selalu ingin tersenyum jika mengingat pesan terkejut Nala. Kamu... cowok?

Hal paling berpengaruh atas sebuah rasa yang hadir dalam diri Dewa kepada Nala adalah saat melihat video permainan piano Nala. Lagu sendu yang dimainkan penuh perasaan ditambah wajah cantik nan lembut, membuat Dewa terbayang-bayang. Dia jadi teringat mamanya dulu juga sering bermain piano hanya untuk sekedar hiburan jika papanya lama tak pulang.

Lagu-lagu lawas yang dinyanyikan syahdu dan suara denting piano berantakan, menandakan betapa hancurnya hati mamanya. Dewa tak akan bisa mendengar lebih lama lagi. Dia akan memilih untuk masuk kamar dan menyumpal telinganya dengan headset. Diputarnya musik rock hanya agar denting piano Mama tidak terdengar lagi. Melihat kesakitan Mama sama saja merasakan kesakitan itu sendiri.

Dewa menghela napas panjang dan berat. Dia tidak suka mengingat hal tersebut yang berakibat mood-nya menjadi buruk. Sepertinya lebih baik kalau dia segera pergi ke rumah Nala meskipun waktu masih pukul setengah tujuh malam.

“Mau ke mana, Wa?” tanya Mama ketika Dewa menuruni tangga besar di dalam rumahnya. Wanita paruh baya itu sedang merajut sebuah taplak meja.

“Ke rumah temen, Ma.”

“Makan dulu.”

“Nanti aja deh, Ma. Kak Putri nggak ke sini?”

“Katanya nggak jadi. Kalau gitu kamu sekalian mampir aja ya ke rumah Kak Putri. Mama tadi masak kare ayam kebanyakan,” kata Mama Cintya, ibu Dewa, sambil berjalan ke dapur kemudian memanggil asisten rumah tangganya.

Dewa mengangguk dan menunggu di sofa depan layar televisi. Di atas televisi itu ada foto besar keluarganya. Terlihat harmonis dan bahagia. Sayangnya, dalam dunia nyata mereka tidak sebahagia itu.

Pernikahan itu selalu dikaitkan dengan kebahagiaan. Begitu pula saat Putri, kakak perempuan Dewa, menikah satu tahun yang lalu di usia 25 tahun. Semua anggota keluarga bahagia karena akhirnya Putri menemukan jodoh yang sangat menyayanginya dan memboyong Putri ke rumah baru yang sudah disiapkan oleh Barata, suami Putri.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa hari untuk Mama Cintya. Setelah Putri keluar dari rumah besar yang dihuni sejak dia masih bayi, Mama Cintya kesepian. Tidak ada lagi anak gadis yang menemani hari-harinya.

Dewa seringkali melihat Mama dan kakaknya memasak bersama, belanja bersama, menonton televisi bersama, atau sekedar melakukan aktivitas ringan lainnya. Keduanya terlihat sangat bahagia meskipun kenyataannya Mama Cintya menyimpan duka atas perselingkuhan suaminya yang seperti tiada akhir. Kehadiran Putri menjadi pelipurnya.

Tapi ketika Putri telah menikah, Mama Cintya tak punya lagi teman untuk berbagi aktivitas. Kejenuhan menyergap sehingga Mama Cintya sering terlihat bengong dan kadangkala seperti orang bingung mau melakukan apa. Dewa tak tega melihatnya.

“Mama mau ikut?” tanya Dewa saat melihat mamanya kembali membawa sekotak makanan.

“Ke mana?”

“Ke rumah Kak Putri?”

Mama Cintya terlihat bimbang. Tapi pada detik terkahir, beliau menggeleng dengan senyum lemah. “Nggak. Kamu berangkat aja. Mama nggak ingin ganggu kakak kamu. Dia pasti capek baru pulang kerja.”

Dewa tersenyum kecut sambil menerima kotak makanan itu. Bahkan dalam balutan kerinduan yang teramat sangat, Mama Cintya masih memikirkan keadaan anak gadisnya.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang