Aira merasa hawa dingin semilir menyergap tubuhnya. Masih dalam mata terpejam, dia menarik selimut sampai menutupi leher. Bergulung di atas kasur yang sangat empuk dan selimut tebal, membuat gadis itu tidak ingin beranjak dari kenyamanan itu. Dia ingin tidur lebih lama lagi sampai dia puas. Tapi tiba-tiba dia membuka mata cepat saat mendengar suara asing tak jauh dari tempatnya.
“Maaf ya, Dewa baru ngabarin Mama. Mama nggak usah khawatir. Dewa baik-baik aja kok... Iya nanti Dewa mampir ke rumah Kak Putri... Oke, Ma.”
Mendengar nama Dewa berulang-ulang, pikiran Aira mulai jernih. Dia ingat dia berada di mana. Matanya nyalang menatap di sekelilingnya dan berhenti pada sosok Dewa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu balkon. Dua tirai gulung yang ada di sudut kanan dan kiri telah dibuka separuh, menampilkan suasana pagi yang masih berkabut.
Dari tempatnya berbaring, tampak gedung-gedung pencakar langit dan padatnya bangunan tengah kota. Dalam keadaan biasa, mungkin Aira akan sangat menikmatinya. Tapi setelah dia menyadari dia berada di kamar Dewa, Aira bangun tiba-tiba sambil menelisik tubuhnya yang masih tertutup pakaian dengan rapi.
Aira ingat bahwa semalam dia masuk kamar ini dengan canggung. Tak ada pembicaraan apa pun sampai akhirnya dia tertidur pulas sampai pagi. Tidak terjaga sedikit pun. Tapi... semalem aku berbaring di ujung ranjang, kenapa sekarang posisiku bisa berubah di tengah ranjang?
Aira tahu pasti Dewa yang telah menggendongnya untuk memperbaiki posisi tidurnya. Kenyataan itu membuatnya mengutuk dirinya sendiri mengapa tidak terbangun saat Dewa menggendongnya. Mungkin karena kelelahan, begitu pikirnya.
“Udah bangun?”
Aira menoleh kaget saat Dewa berjalan ke depan meja hias lalu duduk menghadap padanya. Sebagai gadis panggilan, Aira merasa tidak enak dengan kondisi seperti ini. Tidak seharusnya di enak-enakan menikmati tidur di ranjang sedangkan Dewa di sofa. Iya, Dewa tidur di sofa. Dia sempat melirik bantal yang tergeletak di sofa itu.
“Maaf, Dewa. Gue ketiduran semalem,” ucap Aira resah.
“Tidur pules sampai nggak bangun waktu gue gendong.”
Aira tidak menjawab. Gadis itu hanya menunduk mencari tasnya kemudian bangkit ke kamar mandi. Secepat mungkin dia mandi dan menggosok gigi. Kucuran air hangat memulihkan otaknya yang sering kosong ketika berhadapan dengan Dewa.
Aira perlahan keluar dari kamar mandi dengan pakaian berbeda. Sebuah dress pendek santai yang membuatnya tampil fresh dengan motif bunga segar. Sekilas Aira menangkap sorot mata kagum dari Dewa. Tapi hanya beberapa detik. Di detik lain cowok itu sudah mampu mengendalikan pandangannya.
Aira memilih duduk di tempat tidur seperti semalam. Mereka kembali dilanda sepi. Sampai akhirnya Dewa sadar akan sesuatu.
“Ini sarapan lo.” Dewa menyerahkan nampan berisi seiris roti tawar, telur dadar, dua potong sosis, beberapa kentang goreng, dan teh manis. Dia meletakkan nampan itu di samping gadis itu.
Aira meneguk ludahnya karena terkesima dengan pelayanan Dewa kepadanya padahal dia belum melakukan apa-apa. Sedari semalam, dia merasa aneh karena baru kali ini mendapat pemesan yang memperlakukannya seperti seorang putri. Dijemput, digendong, dan dilayani makan.
“Makan aja.”
“Lo?”
“Udah.”
Pertanyaan pendek dan jawaban pendek. Aira tidak ingin memusingkan hal itu. Karena perutnya memang lapar, akhirnya dia melupakan rasa malu dan gengsi. Dia memakannya perlahan sampai habis. Selagi dia makan, Dewa menyibukkan diri dengan ponsel.
Dewa baru bersuara ketika Aira telah mengosongkan piringnya. “Lo baik-baik aja?”
“Eh, iya. Gue baik-baik aja.” Jawab Aira bingung.
“Sebenarnya lo apanya Tasya?”
Aira terkesiap mendengar pertanyaan Dewa. Pertanyaan penuh tanda tanya itu tiba-tiba hadir melingkupi kepalanya. Apakah Dewa mengajakku kemari hanya untuk menanyakan tentang Tasya? Lalu apa yang harus aku jawab? Jujur atau bohong?
“Gue udah booking lo selama seminggu. Selama itu, gue juga mengharap kejujuran lo. Jadi jangan nutupin apa pun dari gue,” ucap Dewa tegas dengan pandangan tajam.
Aira mengangguk lemah. “Tasya kakak tiri gue.”
“Aldi?”
“Aldi adik Tasya. Jadi Aldi kakak tiri gue juga.”
Dewa mengangguk tanda mengerti. “Ceritakan lengkap tentang keluarga lo dan keluarga Tasya sampai gimana lo bisa jadi saudara tiri mereka.”
Kenapa aku harus cerita sama kamu, Wa? Sedangkan aku ingin lupa sama sesuatu yang bikin aku ingat sama kisah Mama.
“Bokap gue...” suara Aira terdengar ragu-ragu.
“Anggep aja lo lagi curhat ke gue. Kali ini aja selama ini lo nanggung beban yang hampir nggak kuat lo pikul sendiri. Dengan bercerita, beban lo akan sedikit berkurang.”
Aira menatap Dewa. Wajah cowok keren dan menarik. Nggak salah kalau selama ini banyak yang terpesona sama kamu, Dewa.
“Bokap gue pergi waktu gue masih SD. Nggak tahu ke mana, Mama nggak berusaha nyari. Mama bertahan ngebesarin gue sendiri dengan kerja di salon sampai gue kelas delapan. Setelah itu ada laki-laki baik hati yang menikahi Mama. Namanya Om Harun.” Aira tersenyum tipis saat menyebut nama suami ibunya. Dewa mengira gadis itu sedang mengenang masa bahagianya tiga tahun yang lalu. “Om Harun orang baik. Sangat baik. Sayangnya, kedua anaknya nggak sebaik Om Harun. Aldi dan Tasya cuek banget dan terkesan benci sama pernikahan papanya. Apalagi saat gue dan Mama diboyong ke rumah mereka, rumah yang gue tinggali sekarang.”
“Terus di mana nyokap lo sekarang?” Tanya Dewa kemudian melihat mata Aira berkaca-kaca. Perlu waktu lama untuk menunggu Aira bercerita kembali.
“Cuma satu tahun pernikahan Mama dengan Om Harun. Waktu Mama mengajak Om Harun ke Manado mengunjungi keluarga Mama yang memang berasal dari sana, mereka mengalami kecelakaan di kapal yang membawa mereka berwisata ke sebuah pulau kecil. Mama dan Om Harun... meninggal.” Aira mengusap air mata yang menetes di pipi.
“Maaf udah bikin lo sedih,” ucap Dewa tulus. Aira hanya menggeleng.
“Gue nyesel kenapa gue nolak ikut waktu itu karena ada ujian semester. Kalau aja gue ikut, gue pasti bahagia bisa mati bareng mereka.” Aira terisak. Dewa bingung apa yang harus dilakukan. Haruskah dia memeluk gadis itu supaya tenang?
“Lo harusnya bersyukur karena lo masih bernapas sampai hari ini.”
“Buat apa gue hidup kalau akhirnya harus melacur kayak begini?” Aira menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Gue nggak punya pilihan lain. Nggak ada saudara yang bisa gue temui di Jakarta. Dan nggak mungkin juga gue ke Manado sedangkan nenek dan kakek udah nggak ada. Saudara yang dikunjungi Mama waktu itu adalah saudara jauh. Gue nggak pengin ngerepotin mereka.” Aira menoleh menatap Dewa yang mendengarnya penuh simpati. “Akhirnya gue memilih bertahan hidup dengan si bangsat Aldi yang udah... yang udah memperkosa gue!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...