Bab 30 Benarkah Kebetulan? Atau Takdir?

1.3K 59 4
                                    

Dalam seminggu, empat hari Dewa menginap di rumah, tiga hari di apartemen. Dia selalu memberi alasan kepada mamanya bahwa semenjak kelas dua belas, tugas-tugasnya semakin menumpuk, dan itu membuatnya harus sering belajar bersama dengan teman-temannya. Mamanya mengizinkan saja saat Dewa meminta izin untuk menginap di tempat kost Surya. Dan malam ini, pada sabtu malam, dia menghabiskan malam dengan dua gadis sekaligus. Pukul enam sampai pukul delapan, dia apel di rumah Nala. Setelahnya dia mengajak Aira jalan-jalan ke mal.

Aira harus banyak-banyak bersyukur karena selama dia berjalan mengitari mal, dia tidak bertemu dengan para lelaki yang pernah memesannya. Bagaimana pun meski dia tidak ada ikatan apa pun dengan para lelaki itu, tetap saja bertemu di lain tempat adalah sebuah bencana.

Selama lima belas menit berada di dalam mal yang ramai, Aira mulai tenang. Dia harus percaya pada Dewa bahwa mereka akan baik-baik saja. Akhirnya dia menarik napas panjang untuk menghilangkan penatnya dan tersenyum.

Aira menyapukan pandangan ke seluruh sudut mal yang penuh dengan baju-baju indah bergelantungan. Di sudut yang berbeda, ada beberapa kafe yang menguarkan aroma lezat seakan menggelitiki perutnya. Rasanya hampir dua tahun dia tidak pernah memasuki mal. Selama ini dia hanya membeli baju secara online dan mencari kebutuhan sehari-hari di mini market di depan komplek perumahan.

Aira merasa seperti gadis baru lahir dan melihat betapa megahnya berada di gedung lebar dan semewah ini. Dia merasa kampungan. Tak sadar dia tersenyum membodohkan dirinya sendiri.

“Kenapa senyum-senyum sendiri?” Mereka berhenti di pembatas kaca sehingga bisa melihat lalu lalang orang di lantai bawah.

“Lo tahu, Wa, terakhir gue masuk mal itu dua tahun yang lalu, sebelum Mama meninggal. Dan sekarang gue seperti kodok dalam tempurung. Bener kayak yang lo bilang.” Aira tertawa ringan seperti orang bodoh. Hal itu membuat Dewa ikut tertawa sekaligus miris. Disaat gadis-gadis lain menikmati masa remaja dengan menghabiskan waktu dan uang di mal, Aira justru menghabiskan waktu untuk menjajakan tubuhnya.

Melihat gadis itu tertawa lepas, Dewa merasa bahagia. Ada tekat yang kemudian timbul dalam dirinya, dia ingin membahagiakan gadis ini. Ketika matanya terpaku pada baju-baju yang digandrungi gadis masa kini, Dewa tahu apa yang harus dilakukannya.

“Mau ke mana, Wa?” tanya Aira saat Dewa menarik tangannya. Tapi Dewa tidak menjawab. Jadi Aira mengikuti saja langkah Dewa.

“Lo pilih mana yang lo suka. Maksimal lima baju,” kata Dewa sambil bersedekap.

Aira terlihat linglung. “Lo udah kasih gue banyak, Wa.” Aira teringat akan amplop yang ditemukannya dalam tas sekolahnya. “Jadi nggak perlu lo belikan gue baju.”

“Oke, kalau lo nggak mau, gue aja yang pilih.” Tanpa menghiraukan jawaban Aira, cowok itu mengetuk-ketuk dagunya lalu memilih beberapa model baju yang pernah dipakai Nala. Perlu Dewa akui bahwa pacarnya itu punya selera baju yang cukup keren. “Coba aja yang ini, ini, ini, dan ini.” Dewa meletakkan satu per satu baju di tangan Aira yang terbengong dengan baju sebanyak itu.

Seolah seperti gadis yang benar-benar bodoh, Aira melangkah menuju ruang ganti dan mencoba semuanya. Dia tidak perlu menunjukkannya kepada Dewa. Dia malu. Tanpa banyak protes dia mengatakan kalau dia menyukai semuanya.

“Oke kalau gitu kita beli semuanya.”

Aira tak mencoba untuk menahan karena dia tahu tak akan berhasil melarang Dewa. Gadis itu mengikuti saja langkah Dewa menuju kasir.

“Makasih banyak, Wa. Gue nggak tahu harus balas lo dengan apa.”

Dewa hanya menoleh tapi tak berkomentar apa pun. Sedangkan Aira mencoba untuk tersenyum. Kini antara dirinya dengan Dewa bukan lagi seperti hubungan gadis malam dengan pelanggan. Aira-lah yang merasa membutuhkan bantuan Dewa. Gadis itu butuh tempat tinggal yang aman dan nyaman dan biaya hidup dari Dewa. Tentu saja dia gadis yang tahu diri dengan tidak meminta apa pun pada Dewa. Aira hanya menggunakan apa yang ada. Dengan itu saja, dia sudah senang.

***

Nala baru saja akan menutup pintu pagar ketika sebuah mobil menghampirinya. Suasana yang gelap meski ada lampu yang menerangi depan rumahnya, tetap membuatnya harus menajamkan penglihatannya untuk melihat siapa yang datang. Mulutnya baru ternganga saat melihat Afkar dengan senyum paten berhenti tepat di depan pintu pagar.

“Masih nerima tamu, kan?” godanya sambil keluar dari mobil.

“Kak Afkar? Mau ngapain ke sini malem-malem?” Nala tak bisa menghilangkan suara kesal dalam suaranya.

“Sebenernya gue udah dari jam enam di depan rumah lo. Tapi lo lagi diapelin Dewa lama banget. Lo nggak pengin lihat gue dan Dewa berantem, kan?”

“Astaga, Kak Afkar!” Nala menyentuh keningnya sendiri seperti orang pusing. “Gue bingung gimana caranya ngadepin lo, Kak.”

“Gue juga bingung gimana caranya ngilangin perasaan gue ke lo. Anggep aja gue nggak tahu malu ngejar-ngejar cewek orang. Tapi beneran deh, gue nggak bisa diem sebelum gue dapetin lo.”

“Kak, lo segitunya ya. Belum tentu juga kalau gue putus dari Dewa terus gue nerima lo jadi cowok gue.”

“Nggak masalah sama hasilnya entar kayak gimana. Gue pengin nikmatin prosesnya dulu. Kayak malam ini. Gue mau ngajakin lo nonton.”

“Gue nggak mau pergi ke mana-mana. Udah malem juga.” Nala bersedekap menunjukkan keengganannya.

“Yakin?” Afkar tersenyum miring.

Belum mendapat jawaban dari Nala, Afkar mengeluarkan ponselnya. Tak lama, seseorang yang ditelepon Afkar menjawab, “Halo, Af, lo udah di luar?”

Nala hafal suara siapa itu. Itu suara Fara. “Lo... lo ngajakin kakak gue?”

“Gue udah janjian sama Kak Fara, jadi sekalian ngajak lo ikut bareng. Kali ini lo nggak akan nolak kan? Yah, meski lo nolak, Kak Fara pasti maksa lo buat ikut,” kata Afkar dengan kepercayaan diri tingkat tinggi.

Dan Nala tak punya pilihan lain. Dia terpaksa ikut karena tak tega membiarkan Fara pergi berdua saja dengan Afkar di waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan. “Emangnya kita mau nonton film apa sih malem-malem begini?” tanya Nala cemberut.

“Sabrina,” jawab Fara antusias.

“Hah? Astaga, Kak Fara! Hobi banget sih nonton film horor. Aku pasti tidur di sana.”

Fara dan Afkar hanya tertawa menanggapi sikap Nala yang manyun seperti anak kecil kehilangan boneka. Bahkan sampai di tempat yang dituju, Nala masih saja mengerucutkan bibir. Sesering apa pun Afkar menggodanya saat film telah dimulai, Nala bergeming dan tetap memejamkan mata.

Afkar bahagia bukan main bisa mengajak Nala nonton meski dalam keadaan yang tidak romantis. Kebahagiaan Afkar semakin menjadi saat tak sengaja penglihatannya menangkap sosok tak asing di kursi pojok beberapa baris di belakang tempatnya duduk. Ada Dewa di sana. Ya, Afkar tidak salah lihat. Walaupun dalam gelap Afkar masih bisa mengenali wajah Dewa dibantu cahaya dari layar. Afkar hanya tidak bisa melihat siapa gadis yang ada di sebelah Dewa. Dan untuk kejadian tak terduga ini, Afkar tersenyum puas dan tidak menyesal telah membuat keputusan untuk mengajak Fara nonton. Dia bisa melihat sesuatu yang baru.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang