Aira mendorong dada Dewa ketika mendengar ketukan pintu apartemen. Wajah gadis itu tiba-tiba panik. Selama ini belum pernah ada satu ketukan pun yang mendarat di pintu apartemen Dewa. Bahkan petugas kebersihan saja tidak pernah mengetuk pintu itu. Aira lebih dulu meletakkan tempat sampah di luar kamar setiap pagi sebelum petugas kebersihan datang. Jadi siapakah kini yang berada di luar sana?
“Tenang,” ucap Dewa tak khawatir sedikit pun. Apa yang perlu ditakutkan sekali pun yang ada di luar adalah papanya. Sejak membawa Aira untuk tinggal berdua, Dewa sudah siap dengan segala risiko. Jadi dengan tenang cowok itu mengajak Aira memasuki kamar dan menutup pintu yang memisahkan kamar dengan balkon. “Lo tunggu sini aja.”
Aira duduk di tepi tempat tidur sambil meremas kedua tangannya. Sedangkan Dewa mengintip melalui lubang pintu dan mendapati wajah ibunya.
“Mama,” gumamnya dengan debaran yang tiba-tiba berlompatan. Seandainya yang datang papanya, mungkin dia tidak akan sekhawatir ini. Tapi karena mamanya yang datang, dia menjadi gelisah. Bukan takut mamanya akan membencinya. Tapi karena dia takut mamanya akan membencinya jika tahu apa yang disembunyikan di apartemen ini.
Dewa melirik Aira yang duduk dengan tidak tenang. Dalam hati, dia meminta maaf dengan sorot mata yang sanggup diartikan Aira begitu cepat. Gadis itu berdiri gemetar. Sungguh, Dewa tak tega melihatnya. Tapi dia tak punya pilihan lain. Dia tak mungkin mengabaikan mamanya. Akhirnya dengan sekali tarikan napas panjang, Dewa membuka pintu itu.
Dua pasang mata itu saling berpandangan dalam kesakitan. Tak ada kekagetan karena keduanya sudah sama-sama tahu. Hati seorang ibu kandung yang menyatu dengan hati putranya. Apa pun yang berusaha disembunyikan, pasti akan terbongkar pula.
“Apa kabar, Ma?” sapa Dewa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sudah tiga hari dia tidak bertemu mamanya. Samar-samar, senyumnya tersungging, mencoba mencairkan suasana. Tapi Mama Cintya tetap memandangnya dengan penuh kesedihan.
“Mama boleh masuk, Dewa?” suara yang lembut itu, pernah menjadi suara yang paling dirindukan Dewa dulu ketika dirinya masih kanak-kanak. Kini setelah dia beranjak dewasa, suara keributan temanya seolah membuatnya lupa akan kehadiran sosok lembut seorang ibu. Tiba-tiba Dewa merindukan masa-masa yang telah berlalu.
Dewa mundur selangkah dan melebarkan daun pintu. Setelah mamanya masuk beberapa langkah, Dewa menutup pintu kemudian berbalik dan mendapati mamanya tengah berpandangan dengan Aira.
Wajah gadis itu pias. Kedua tangannya menyatu di depan perut. Keningnya penuh kerut ketakutan. Dewa segera mendekatinya dan mengajaknya untuk duduk di sofa. Begitu pula yang dilakukan kepada mamanya. Hingga akhirnya mereka duduk bertiga dalam keheningan.
“Bisa kamu ceritakan apa yan telah terjadi, Dewa?” tanya Mama Cintya masih berekspresi seperti tadi. Wanita paruh baya itu memandangi Aira seperti ingin menilai seperti apa gadis malam yang diceritakan sahabat Nala beberapa hari yang lalu. Gadis itu bukan gadis yang terlihat berambisi atau berani menatapnya. Terbukti dengan pandangan gadis itu yang selalu menunduk dengan sikap gelisah.
“Semua salahku, Ma. Dewa yang ngajak Aira tinggal di sini.”
Mama Cintya menyunggingkan senyum pahit. Dia sadar bahwa dia telah gagal mendidik Dewa untuk menjadi lelaki yang bisa menjaga wanita. Bukan seperti papanya. Pandangannya beralih pada kamar yang cukup rapi namun lumayan penuh dengan barang-barang. Dia tahu kedatangannya telah terlambat. Semua telah terjadi.
“Aku nggak mau lihat Aira dimanfaatin sama kakak tirinya, Ma.”
“Mama mengerti. Alasanmu sama persis dengan alasan papamu waktu memilih untuk menjadikan Tasya sebagai simpanannya.”
Dewa dan Aira tercekat. Tidak menyangka bahwa Mama Cintya akan dengan tenangnya berkata demikian. Bagi Dewa, kalimat mamanya sangat menusuk tepat di ulu hatinya. Dia menyadari betapa brengseknya dirinya sebagai laki-laki. Sejernih apa pun dia berusaha menjelaskan, dimata orang lain, perbuatannya tetaplah salah. Sama seperti saat dirinya menyalahkan papanya.
“Maafkan saya, Tante. Saya yang salah. Seharusnya saya nggak menerima ajakan Dewa,” sahut Aira dengan suara tersendat menahan tangis. Wajahnya menunduk dalam, tak berani menatap wajah Mama Cintya. Dia tidak ingin Dewa disamakan dengan Pak Atmaja yang telah berselingkuh, sekali pun Dewa melakukan hal yang sama kepada Nala. Dia hanya mengetahui sisi baik Dewa. Baginya Dewa tetaplah Dewa penolongnya sekaligus lelaki yang sangat dicintainya.
“Kamu tidak salah. Wanita mana yang bisa menolak saat ditawari kenyamanan dan kasih sayang dari seorang laki-laki.”
“Ma...” Dewa mulai merasa tidak nyaman.
“Kalian harus tahu, belum waktunya kalian berada dalam masalah seperti ini. Hidup kalian masih panjang. Jangan merusaknya dengan keputusan pendek yang mungkin akan kalian sesali seumur hidup.”
“Aku nggak menyesal, Ma,” jawab Dewa tegas. “Aku kenal Aira saat aku ingin membawa Papa pulang kembali sama Mama. Aku nggak bisa lihat Mama sedih setiap hari.”
“Kamu pasti tahu kalau itu nggak akan mungkin, Dewa.”
“Maaf, Ma. Aku belum bisa menyadarkan Papa.”
“Bukan belum bisa, tapi kamu tidak sempat karena kamu lebih dulu bertemu dengan gadis yang menyita perhatianmu, lebih banyak dari pada Nala.”
Nala? Dewa baru teringat akan gadisnya yang mungkin kini tengah bersedih mengetahui kebohongannya. “Mama tahu dari Nala?”
Mama Cintya menggeleng. “Mama sudah curiga sejak kamu jarang pulang dan seringkali membawa mobil. Jujur Dewa, Mama kecewa dengan pilihan kamu. Apa pun alasanmu, keputusanmu tetaplah salah. Begitu juga dengan kamu Aira.”
Aira tersentak saat namanya disebut. Gadis itu mendongak sebentar kemudian menunduk lagi. “Maafin saya, saya janji saya akan pergi dari sini,” ucap Aira penuh derai air mata.
“Nggak, Ra. Lo akan tetep di sini.”
“Dewa, kamu tahu betapa sakit hati Mama mengetahui papamu punya wanita simpanan. Dan sekarang Mama jadi dua kali sakit hati karena kamu punya gadis simpanan juga.”
“Ma...”
“Mama mohon jangan pernah mempermainkan hati wanita. Umurmu 18 tahun, Dewa. Kamu sudah dewasa. Mama yakin kamu bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Aku akan minta maaf sama Nala.”
“Bukan sekedar minta maaf yang Mama inginkan. Tapi hentikanlah semua ini. Buatlah Mama bangga terhadap kamu. Kamu satu-satunya laki-laki yang masih bisa Mama percayai akan mendatangkan kebahagiaan buat Mama.” Mama Cintya mengusap pipinya yang basah. “Belum terlambat untuk membenahi semuanya, Dewa.”
Mama Cintya beranjak pergi dengan seribu kekalutan. Meninggalkan Dewa dan Aira yang termangu dalam kebingungan. Tak ada penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Keinginan Dewa berarti kebahagiaan Aira namun kekecewaan Mama Cintya dan Nala. Begitu pula sebaliknya. Seandainya saja, dia bisa membahagiakan ketiga wanita itu, semua akan berjalan dengan mudah. Sayangnya, dia harus mengorbankan salah satu dari mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...