Bab 25 Menemui Afkar

1.4K 55 2
                                    

Tak terasa Penilaian Akhir Semester sudah di depan mata. Bulan depan dia sudah harus menyiapkan diri mengikuti ujian semester 1. Empat bulan yang lalu tepatnya dia memasuki sekolah ini, dan hampir dua bulan dia menjadi pacar Dewa. Sebelumnya pacaran bukan menjadi keinginannya seperti pemikiran teman-temannya bahwa masa SMA adalah masa mencari pacar pertama untuk dikenang ketika tua nanti. Tapi kehadiran Dewa menyingkirkan akal sehatnya dan menerima cowok itu karena tidak bisa membohongi diri bahwa dia tertarik pada Dewa, cowok yang masuk jajaran cowok keren dan berfisik utama, alias golongan cowok berbadan tinggi, sama seperti ketiga teman Dewa dan Afkar.

Kalau dulu dia hanya kagum, sekarang Nala menyadari ada perasaan aneh yang menyelubungi hatinya. Ada debaran aneh setiap kali bersama Dewa dan menatap tatapan mata Dewa yang menusuk tapi penuh kasih. Ada pula rasa rindu setiap kali Dewa lupa tidak mengabarinya selama dua hari. Meskipun Afkar lebih sering menghampirinya di kelas, Nala tidak begitu mudah membelokkan hatinya.

Bianca dan Dinna adalah penghiburnya. Saat di kelas, Nala seolah melupakan Dewa yang beberapa kali membuat masalah dalam hatinya. Cerita Dinna yang lucu setelah berpacaran dengan Lexi, cerita Bianca yang lebih banyak ngomel karena digoda Surya, sedangkan dirinya hanya cerita menegangkan yang tak menarik untuk diceritakan.

“Ih, masa Kak Lexi bilang mau nikahin gue setelah dia lulus SMA,” wajah Dinna cemberut saat bercerita di depan teman-temannya.

“Hah? Baru pacaran dua bulan aja udah mikirin kawin?” Bianca melotot. “Entar bulan depan dia udah punya gebetan baru.”

“Lo kok nyumpahin yang jelek-jelek sih? Gue lagi sayang-sayangnya nih sama Kak Lexi. Kalau dia ninggalin gue sekarang, bisa luka hati gue.”

“Elaaah, gaya lo udah kayak istri tersakiti aja. Cowok masih banyak Dinna sayang...” Bianca mencubit pipi Dinna. Sedangkan Nala hanya tersenyum.

“Kak Lexi tuh bikin gue seneng terus. Dia konyol, suka bercanda meski bercandanya garing, tapi dia perhatian,” ucap Dinna dengan wajah berseri. Wajahnya yang putih dan imut semakin menarik untuk dicubit.

“Iya, cocok deh sama lo. Lo emang kayaknya jodoh sama dia. Lo polos dia konyol. Sip.” Bianca mengangkat jari jempolnya.

“Lo juga cocok sama Kak Surya. Lo jutek bikin Kak Surya makin penasaran.”

“Idih, amit-amit gue suka sama cowok mesum kayak Kak Surya. Meski gantengnya sampai langit, gue pasti mikir seribu kali buat deket sama dia.” Bianca bergidik ngeri. Lalu tak sengaja matanya menangkap sorot mata Nala yang redup. “La, lo gimana sama Kak Dewa? Baik-baik aja, kan?”

Nala tersentak. “Iya, baik-baik aja.”

“Kok muka lo suntuk begitu?” Dinna ikut bertanya.

Nala menghela napas panjang. “Sebenarnya kisah gue nggak seseru kisah kalian. Gue iri sama lo, Din, lo kelihatan bahagia banget.”

“Aduh, emang ada apa?” Dinna mendekat kemudian mengusap bahu Nala. “Kak Dewa nggak nyakitin lo, kan?”

“Sori kalau gue jujur. Tapi menurut gue, dari awal ketemu empat cowok itu, Kak Dewa emang yang paling misterius,” timpal Bianca kemudian mendapat pelototan dari Dinna. Merasa telah salah berucap, Bianca melanjutkan, “eh, cerita deh, La, kita sohib lo yang pasti bisa ngurangin beban masalah lo.”

Nala tak begitu merepon ucapan Bianca karena dia pun berpendapat demikian. Dewa memang paling pendiam di antara tiga temannya. “Kak Dewa awalnya terlalu posesif. Gue udah ngomong berulang kali, akhirnya dia bisa ngerti kalau gue nggak pengin pacaran penuh kekangan. Tapi...”

“Tapi apa?” sahut Bianca dan Dinna bersahutan.

“Tapi Kak Afkar... Kak Afkar ngedeketin gue terang-terangan di depan Kak Dewa. Gue takut tiap kali lihat mereka saling tatap, gue takut mereka berantem.”

“Astaga, jadi sekarang lo diperebutin dua cowok keren?” Bianca membeliak.

“Diperebutin gimana maksud lo, Bi? Nala kan udah jadi cewek Kak Dewa.”

“Maksud gue, sekarang Nala disukai dua cowok.”

“Yang bener tuh Kak Afkar yang mau ngerebut Nala dari Kak Dewa.”

“Gue takut Kak Afkar diapa-apain sama Kak Dewa.” Nala menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Masa sih Kak Dewa segitu teganya?” tanya Dinna menanggapi ketakutan Nala.

“Gue pernah lihat Kak Dewa mukulin Roland di gudang, Din. Dan Kak Surya diem aja ngelihatin Roland kesakitan tanpa pengin mau berhentiin kelakuan Kak Dewa.”

“Kak Surya?” kening Bianca berkerut.

“Gue yakin pasti ada sebabnya Kak Dewa mukulin Roland. Selama ini gue juga nggak suka sama Sikap Roland yang kasar. Mungkin anak itu pernah ngelawan Kak Dewa.” Dinna berucap lagi.

“Gue juga jadi khawatir sama Kak Afkar,” ucap Bianca seperti berpikir.

“Iya, gue sama. Gue udah bilang jangan ke rumah gue. Kak Afkar tetep ngotot dateng. Dan tahu apa yang terjadi? Kak Dewa dateng juga. Dia pasti salah paham karena Afkar main di dalem rumah gue. Dan anehnya, Kak Afkar sama sekali nggak takut. Dia malah bilang kalau emang suka sama gue dan nggak gentar meski Kak Dewa udah mendelik. Gue sampe gemeter.”

“Gila, kok gue baru tahu ya Kak Afkar sebegitu beraninya. Padahal waktu datengin kita waktu itu, gue kira Kak Afkar masuk golongan cowok baik hati dan ramah, nggak suka cari keributan. Jabatannya sebagai ketua OSIS, pasti lebih suka nyelesein masalah dari pada bikin masalah.” Bianca berkomentar panjang.

“La, kayaknya lo perlu nasehatin Kak Afkar deh supaya mundur. Lo jangan lupa Kak Dewa punya tiga temen yang... yang salah satunya adalah cowok gue. Gue yakin Kak Lexi pasti dukung Kak Dewa. Kalau Kak Afkar dikeroyok...” ucap Dinna takut-takut dan langsung mendapat sambutan pelototan dari kedua Nala dan Bianca.

“Lo kok malah nakut-nakutin sih, Din?”

“Bukan gitu maksud gue, Bi. Tapi gue denger dari Kak Lexi kalau Kak Dewa emang wataknya keras kayak Papanya.”

Mendengar info terbaru dari Dinna membuat Nala semakin cemas. “Kayaknya gue harus sekarang deh ketemu sama Kak Afkar.” Nala melihat jam dinding yang ternyata masih lima belas menit sebelum bel masuk setelah istirahat. Gadis itu beranjak dari duduknya.

“Eh, mau ke mana, La?” Dinna dan Bianca ikut berdiri.

“Ke mana aja asal bisa ketemu Kak Afkar.”

“Gue temenin lo.”

Mereka bertiga keluar dari kelas dan langsung menuju kelas Afkar. Sayangnya Afkar tak ada di kelas. Di ruang OSIS juga tak ada. Insting Nala mengatakan bahwa dia harus mencari di halaman belakang sekolah yang sepi oleh siswa karena di lahan tersebut ada kolam renang lawas yang sudah lama tidak pernah dipakai. Pak kebun sekolah mereka mengatakan jangan suka bermain di sana.

“La, ngapain ke sana? Gue takut,” cicit Dinna yang tidak dihiraukan oleh Nala dan Bianca. Kecemasan Dinna naik dua kali lipat saat melihat ada lima cowok di sana.

Nala dan Bianca tertegun di tempat. Langkah mereka terhenti saat melihat Dewa dan teman-temannya berdiri sejajar menghadapi Afkar.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang