Bab 23 Keras Kepala

1.4K 64 0
                                    

Kecewa karena diabaikan begitu saja ternyata rasanya sangat menyakitkan. Dua jam Nala menunggu kedatangan Dewa namun cowok itu tidak muncul juga. Sudah berulang kali Nala melihat layar ponselnya, tapi tetap saja tidak ada pesan atau telepon yang masuk dari Dewa. Dia sendiri sudah menelepon lebih dari sepuluh kali namun tidak diangkat. Mungkinkah ponselnya ketinggalan?

Kenapa hati ini terasa pedih? Hanya gara-gara Dewa tidak menepati janji, kenapa hatinya menjadi sesakit itu? Dia sudah berusaha berpikir positif dengan membayangkan jika saja Dewa ada acara mendadak dengan keluarga atau terlibat suatu urusan yang tak dapat ditunda dengan teman-temannya. Tapi tetap saja Nala tak bisa menghalau kecewanya begitu saja.

Dia telah menolak kehadiran Afkar di rumahnya hanya demi Dewa. Kenyataannya Dewa tidak hadir. Kali ini rasanya bukan hanya kekecewaan yang bertumpu dalam hati, tapi juga kekesalan.

“Nungguin siapa, La?” tanya Fara, kakak perempuannya, yang tidak sedang lewat di depan kamar adiknya. “Pacar?”

“Siapa bilang sih, Kak, aku punya pacar?” Sampai sejauh ini, Nala belum menyampaikan kepada keluarganya telah menjalin kasih dengan Dewa.

Fara tertawa ringan. “Aku tahu cowok yang beberapa kali anter kamu pulang itu cowok kamu.”

“Idih, Kak Fara ngintip ya,” tuding Nala cemberut.

“Nggak ngintip. Cuma denger sekilas obrolan kalian waktu itu.”

Kak Fara denger obrolan gue sama Dewa? Astaga, bikin malu aja!

“Emang Kak Fara denger apa aja?”

“Dewa suka ngekang kamu? Udah berlagak milikin kamu, begitu?” Nala tersenyum miris mendengar ucapan kakaknya. “Hati-hati aja deh sama cowok model begitu. Jangan terlalu ngikutin apa maunya karena hidup kita lebih berharga dari pada ngikutin kemauan orang lain terus tapi mengabaikan kebahagiaan diri sendiri.”

“Kak Fara ngomongnya terlalu dalem deh.” Senyum Nala berubah kaku. “Kak Dewa nggak sebegitunya ngekang aku. Mungkin karena masih baru jadian aja kali ya. Atau...” Nala melirik Fara, “Kak Fara pernah punya cowok posesif begitu sampai bikin Kak Fara benci?”

“Yah, gitu deh. Intinya aku benci sama cowok yang suka sok ngatur dan sok memerintah. Udah kayak bos aja. Padahal kita juga nggak dikasih makan mereka.” mendengar ucapan sinis Fara membuat Nala yakin jika Fara pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan seorang lelaki. “Dan lagian, La, kamu masih kelas sepuluh. Jangan terlalu dekat sama cowok. Kalau ada apa-apa entar sakit hatinya nggak mudah sembuh,” lanjut Fara kemudian berlalu dari kamar adiknya.

Nala kembali tersenyum menanggapi kekhawatiran Fara. Itu juga pernah dikhawatirkannya dulu kalau saja Dewa akan menyakiti hatinya suatu hari nanti, dia pasti kerepotan menenangkan hatinya sendiri.

Rasanya terlalu dini menduga sesuatu yang belum terjadi. Lagi pula meyakini Dewa pasti akan menyakitinya adalah sesuatu yang bodoh. Hari ini Dewa pasti tidak sengaja melupakan janjinya. Itu yang ditekankan Nala pada dirinya sendiri.

***

Afkar melirik jam tangannya yang telah menunjuk angka dua belas siang. Selama satu jam mobilnya berhenti di depan rumah Nala, mengamati rumah itu dengan mobil terparkir rapi di carport. Saat Nala mengucapkan akan ada acara penting, Afkar tidak begitu percaya. Dia bisa menduga dari suara Nala saat mengucapkannya. Akhirnya pukul sebelas dia nekat datang ke rumah gadis itu tapi menunggu saja sampai bosan. Entah apa yang ditunggunya. Dalam bayangannya barangkali Nala dengan Dewa baru saja pulang setelah pergi bersama. Sayangnya adegan itu tidak dilihatnya.

Keningnya sedikit berkerut saat melihat wanita paruh baya yang dia tahu adalah Mama Nala dan wanita muda yang diyakini Afkar adalah asisten rumah tangga, sedang menanam bunga di taman mungil depan rumah. Saat itu Mama Nala memanggil nama Nala tapi Nala tak kunjung keluar. Akhirnya Mama Nala masuk rumah kemudian keluar lagi.

Itu berarti Nala ada di rumah. Nala batalin acaranya atau memang bohong?

Tak ingin pikir panjang, Afkar keluar dari mobil dan menghampiri dua wanita itu. “Selamat siang, Tante,” sapa Afkar sopan dengan senyum ramah.

“Selamat siang,” Mama Norma mengangkat wajah kemudian mengangkat alis seperti bertanya siapa tamu di siang bolong begini.

“Saya Afkar, Tante. Kakak kelas Nala. Nala ada?”

“Oh,” Mama Norma berdiri masih mengamati cowok itu. Ketika melihat penampilan Afkar yang rapi dan tidak nyeleneh, Mama Norma tersenyum kemudian meminta Afkar duduk di kursi teras. “Sebentar Tante panggilin.”

Di dalam kamarnya, Nala terperanjat saat Mama Norma mengucap nama Afkar sebagai tamunya, bukan Dewa.

Afkar, lo keras kepala banget sih?

Dibalut rasa kesal dan kecewa, Nala menemui Afkar dan mengajak cowok itu mengobrol di teras samping. Awalnya mereka hanya diam saja beberapa menit sambil mengamati taman kecil yang dibuat oleh Mama Norma.

“Kak,” Nala menoleh tanpa menyembunyikan suara kesalnya, “lo keras kepala banget sih!”

Bukannya tersinggung dengan sikap Nala, Afkar justru tersenyum lalu berdeham. “Keras kepala apanya, La? Lo bilang mau pergi, tapi kenyataannya lo ada di rumah. Sebenarnya lo bohong atau batalin acara pergi sih?”

Tentu saja Nala tidak mau menjawab kalau acara jalan-jalannya dengan Dewa batal karena Dewa tidak dapat dihubungi sama sekali. Tapi bukan berarti Afkar boleh datang seenaknya seperti ini setelah ditolak.

“Lo tahu dari mana kalau gue nggak pergi?”

“Gue ada di depan rumah lo udah satu jam.”

“Buat apa sih, Kak?” tanya Nala hampir merengek. Dia lelah dikejar-kejar seperti ini. Baru saja dia tenang setelah dikejar Dewa. Dan sekarang haruskah dia menerima Afkar supaya Afkar berhenti mengejarnya? Itu jelas pemikiran bodoh.

“Marah?” tanya Afkar tanpa rasa bersalah sedikit pun. Nala benci harus dikelilingi oleh cowok-cowok pantang menyerah seperti Dewa dan Afkar.

“Bukan marah. Tapi kenapa harus nemuin gue?”

“Dewa nggak jadi jemput lo, kan? Mau berapa jam lagi lo nungguin Dewa?” Nala tertegun dengan pertanyaan Afkar. Dari mana cowok itu tahu kalau Nala sedang menunggu Dewa? “Gue nggak salah, kan?”

Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Nala malu jika harus mengakui itu. Mengelak menjadi pilihan yang baik menurutnya. “Siapa bilang gue lagi nungguin Dewa?” ucap Nala dengan raut wajah pura-pura cuek. Hal itu justru membuat Afkar menahan senyum.

“Oke, lo emang nggak nungguin Dewa.” Afkar mendekatkan wajahnya. “Tapi nungguin gue.”

Nala menoleh. Menatap wajah Afkar yang sedang memamerkan satu ujung bibir terangkat, menunjukkan kepercayaandirinya. Dalam wajah itu, Nala meyakini bahwa menghadapi Afkar tidak semudah yang dibayangkannya.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang