Hari sabtu di akhir bulan, sekolah mereka mengisi hari itu dengan kegiatan ekstrakurikuler. Semua murid bebas mengikuti kegemaran mereka masing-masing. Sebelum acara dimulai dengan waktu yang tidak ditentukan, Nala dan kedua temannya duduk di depan kelas mereka sambil melihat pertandingan bola basket. Pemainnya siapa lagi kalau bukan empat cowok paling keren di sekolah, Dewa and the genk.
“Kak Surya ngelirik lo tuh,” ucap Dinna sambil menyenggol lengan Bianca.
“Iya gue lihat. Terus apa?” jawab Bianca cuek.
“Oh iya, minggu yang lalu gue udah tanyain ke Kak Dewa, Kak Surya itu orangnya gimana sih.” Selama beberapa hari Nala baru ingat untuk bercerita akan hal itu.
“Terus jawabannya?” tanya Bianca tak sabar.
“Kak Dewa nggak jelasin apa-apa sih. Cuma dia bilang mau bilangin Kak Surya supaya nggak ngegoda lo yang masih di bawah umur.”
“Eh emang Kak Surya bilang apa, Bi, selain tanya ukuran dada lo?” Dinna mulai kepo.
“Hush! Keras amat lo ngomongnya.” Bianca menutup bibir Dinna dengan jari telunjuknya. “Dia tanya gitu ada alasannya kok. Waktu itu gue papasan sama dia di toilet dan dia nunjuk bagian sini.” Bianca menunjuk dadanya sendiri. “Ternyata kancing gue kebuka. Buru-buru deh gue pasang tuh kancing. Anehnya tuh orang malah kirim pesan ke gue dan tanya berapa ukuran dada gue. Kan gue jadi malu plus kesel bin muak. Dasar otak cowok di mana-mana sama aja. Mesum,” cerita Bianca panjang lebar.
Nala dan Dinna terkekeh geli. Tidak mengira Surya akan seberani itu bertanya ukuran dada cewek. Ternyata dalam sikap dinginnya, Surya menyimpan lahar panas juga. Keduanya jadi begidik ngeri.
“Kak Lexi bilang Kak Surya emang kotor otaknya. Tiap hari mantengin hape melulu. Katanya sih nonton bokep. Kadang-kadang malah nyari tempat duduk kosong di sebelah cewek, ngajakin tuh cewek nonton bareng. Yang ada Kak Surya digebukin pake buku paket sama tuh cewek.”
Serempak ketiganya tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian cowok-cowok yang ada di lapangan. Menyadari tawanya menjadi pusat perhatian, seketika mereka berhenti dan mengulum senyum.
Nala melirik Dewa yang masih berkacak pinggang di lapangan depan melihat ke arahnya. Cowok itu baru berbalik saat bola basket menimpuk punggungnya.
“Halo, semua.” Sebuah suara muncul di dekat mereka. Seorang cowok yang paling terkenal karena statusnya sebagai ketua OSIS muncul di hadapan mereka dengan senyum manis.
“Halo, Kak,” mereka bertiga menjawab bersamaan. Kemudian ketiganya menatap salah tingkah saat cowok itu menatap dada mereka satu persatu. Bahkan Dinna sempat membungkukkan badannya. “Gue nyari yang namanya Nala.”
Bianca mendesah geli karena ternyata cowok itu sedang membaca name tag di dada mereka. Kenapa nggak langsung tanya aja sih dari pada ngelihatin secara bergilir?
“Lo kan yang namanya Nala?” tunjuk cowok itu pada Nala.
“Iya, Kak. Gue Nala,” jawab Nala seramah mungkin.
“Gue Afkar, ketua ekskul musik.”
“Iya, Kak. Gue udah tahu kok.”
“Lo udah daftar anggota ekskul musik tapi kok nggak pernah datang sih?”
“Eh iya sorry Kak, mulai minggu ini gue bakalan aktif,” jawab Nala merasa tidak enak karena khawatir dianggap main-main dengan pilihannya. Padahal nilai eksul juga dimasukkan ke nilai raport. Jadi tidak seharusnya dia tidak rajin datang.
“Sekarang aja yuk. Baru aja Bu Endah udah masuk. Bentar lagi kita mau ada pensi kecil-kecilan setelah PTS. Jadi kita harus nyiapin acara itu.”
“Oke.” Nala berdiri kemudian berpamitan kepada kedua temannya. “Gue ke ruang musik dulu ya. Udah sana kalian berdua ke ruang ekskul masing-masing deh.”
“Iya, iya.” Bianca dan Dinna turut berdiri. Sebelum keduanya berjauhan, Bianca berbisik kepada Nala. “Lo jangan cari kesempatan deketin Kak Afkar ya.”
Nala menggebuk lengan Bianca karena gemas. Dengan senyum tertahan, Nala langsung mengajak Afkar untuk menjauh dari teman-temannya. Mereka berjalan beriringan.
“Gue udah baca formulir pendaftaran lo. Lo pemain piano ternyata. Gue jadi nggak sabar pengen denger lo main.”
“Nanti juga denger, Kak,” jawab Nala dengan senyum manis. Tidak merasa seseorang yang berdiri di lapangan melihatnya dengan dahi berkerut. “Kalau lo suka main alat musik apa, Kak?”
“Gue suka keyboard.”
“Em, hampir sama kayak gue.”
“Lo lebih canggih lagi bisa main piano. Gue suka lihat orang main piano dan main biola kayak Destia. Lo udah kenal Destia, kan?”
“Iya udah kenal. Kapan hari Kak Destia malah ngajakin gue kolaborasi piano dan biola.”
“Nah seru tuh. Gue jadi nggak sabar pengin lihat kalian tampil. Tapi...” Afkar tampak berpikir ketika mereka menaiki tangga, “tulisan lo di formulir kok kayak tulisan Dewa ya?”
“Eh, itu...” Nala tak punya alasan untuk berbohong. “Itu emang tulisan Kak Dewa. Lo hafal banget ya tulisan Kak Dewa?”
“Hafal banget. Waktu kelas sebelas, dia temen sebangku gue.”
“Oh, pantes.” Nala manggut-manggut.
“Terus kenapa lo nggak nulis sendiri?” Afkar terlalu kepo sampai tak menyadari kalau Nala terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan yang mendesak itu. “Eh, tunggu deh, kayaknya gue pernah lihat Dewa boncengin cewek setelah selama ini dia nggak pernah kelihatan sama cewek.”
Nala hanya meneguk ludahnya dengan wajah pias. Sampai sejauh ini memang tidak ada yang mengetahui hubungannya dengan Dewa bukan lagi sebatas kakak kelas dan adik kelas. Tapi lebih dari itu. Nala berniat menyembunyikannya karena dia tidak ingin menjadi perhatian teman seangkatan Dewa. Dia yakin kalau teman seangkatan Dewa tahu kalau cowok itu sudah punya pacar, mereka akan ingin tahu seperti apa pacar Dewa.
“Lo... ceweknya Dewa?” tebak Afkar tepat sasaran. Mereka sudah sampai di depan ruang musik. Afkar menatap Nala dengan pasti. Nala membalas tatapannya dengan ragu-ragu. Sebelum dia mengangguk, sebuah lengan kokoh menggelayuti bahunya.
“Iya, Nala cewek gue. Jadi lo jangan coba deketin Nala,” ucap Dewa yang tiba-tiba muncul di antara mereka, membuat Nala berdebar tidak beraturan. Gadis itu tak berani menatap keduanya dan memilih untuk melepaskan sepatu agar segera bisa masuk ruangan yang beralaskan karpet merah.
“Siapa juga yang mau deketin cewek lo? Gue cuma tanya.” Afkar hanya mendengus dan masuk lebih dulu.
“Lo nggak ikut masuk, Kak?” tanya Nala dengan perasaan tidak enak kepada Afkar.
“Gue masih pengin lanjut basket. Lo duluan yang masuk.”
“Oke deh, gue masuk dulu ya?”
“Tunggu,” Dewa menahan lengan Nala, “lo jangan terpesona sama dia. Dia emang keren dengan segala prestasinya. Tapi bentar lagi jabatannya sebagai ketua OSIS bakal digantikan sama anak kelas sebelas.”
“Terus, hubungannya sama gue apa, Kak? Lo nggak cemburu, kan?”
***
Jangan lupa vote-nya. Makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...