Bab 27 Perasaan Aira

1.3K 73 1
                                    

Dewa sadar dengan apa yang dilakukannya. Memacari Nala tapi menyimpan Aira di apartemen yang dulunya ditempati Putri saat masih kuliah. Jika awalnya dia hanya ingin mengorek informasi dari Aira dan meminta gadis itu untuk melarang Tasya berhubungan lagi dengan papanya, kini timbul perasaan lain yang sulit dijabarkan pada Aira. Sebuah rasa iba jika membiarkan Aira tinggal berdua lagi dengan Aldi. Dia tak rela jika Aldi memaksakan kehendak lagi terhadap Aira.

Dewa ingin melindungi Aira dari Aldi. Itu poin utama alasan Dewa. Bagaimana pun dia memiliki perasaan untuk menolong sesama. Jadi bukan hal yang memberatkan jika dia harus mengeluarkan sejumlah uang tabungan untuk mem-booking Aira kepada Aldi. Dia tak akan pusing jika pada akhirnya dia kehabisan uang. Papanya yang sukses itu tidak akan bertanya macam-macam jika Dewa meminta tambahan uang. Dewa yakin papanya tidak akan membiarkan putranya yang cerdik mengacaukan hubungannya dengan Tasya.

“Lo lagi ada masalah, Wa?” lirih-lirih suara Aira terdengar di sampingnya. Dewa menoleh dengan wajah datar. Mereka sedang berada di dalam mobil menuju rumah Aldi. Beberapa waktu lalu Dewa tak sempat mengantarkan Aira untuk mengambil barang-barangnya setelah bertemu dengan Afkar di rumah Nala. Pikirannya kalut sehingga dia membatalkan untuk pergi.

Selama berdua dengan Aira, Dewa memang selalu membawa mobil karena tidak ingin ada yang mengenali Aira jika mereka naik motor. Mobil itu adalah mobil yang disiapkan Papa untuk Mama. Tapi Mama jarang sekali keluar rumah. Mungkin hanya sebulan sekali. Itu pun bersama asisten rumah tangga dan supir. Jadi dari pada mobil itu menganggur, Dewa membawanya saja.

“Banyak,” jawab Dewa singkat.

“Masalah bokap lo?”

“Salah satunya itu.”

Aira menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk bertanya lagi. Kali ini lebih pelan karena takut membuat Dewa terusik. “Kalau boleh tahu, siapa Nala?”

Sejujurnya Aira bukan orang yang selalu kepo. Tapi keberadaannya di apartemen Dewa selama beberapa hari membuatnya ingin tahu. Dia tidak mau menjadi bumerang dalam hubungan Dewa jika saja Nala itu adalah kekasih Dewa.

Dewa melirik ke kiri. Sedangkan yang dilirik menjadi panas dingin. “Cewek gue,” jawab Dewa dengan suara mantap. Tak ada keraguan sama sekali. Aira malah menangkap kesan kepemilikan dalam suara itu.

“Oh,” hanya itu yang mampu diucapkan Aira. Satu hal yang dia baru tahu, ternyata Dewa bisa mendua meskipun dirinya dan Dewa tidak terikat hubungan apa pun. Tapi kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan mereka sekali pun di antara mereka tidak ada cinta, kecuali perselingkuhan?

“Apa yang lo pikirin?”

“Ehm, nggak ada,” jawab Aira lemah sambil menunduk.

“Jangan dipendam. Ungkapin aja apa yang pengin lo bilang.”

“Lo... nggak merasa bersalah sama cewek lo? Lo udah bareng gue selama beberapa hari, Wa.” Aira mengangkat kepalanya untuk menatap Dewa yang baru saja menghentikan mobilnya di depan rumah Aldi.

“Selama kita nggak ada perasaan apa pun, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk saat ini hanya Nala yang ada di hati gue.”

Aira tersenyum kaku. Ada sekelumit perasaan tidak enak menjalari hatinya mendengar ucapan tegas Dewa. Perasaan apa ini? Apakah perasaan ini yang dinamakan cemburu?

Aira berdebar hebat menyadari pikirannya yang terlalu berlebihan. Cemburu? Dia belum mengenal cemburu dalam hidupnya. Belum pernah ada lelaki yang mengisi hatinya. Selama ini para lelaki hanya menjamah tubuhnya lalu meninggalkannya begitu saja. Berbeda dengan... Dewa.

Dewa memperlakukannya sebagaimana seharusnya lelaki memperlakukan wanita. Cowok itu tidak berbuat kasar sama sekali. Terkesan lembut dan menenangkan. Kalau boleh Aira jujur, dia sangat terlena.

Banyak hal-hal kecil yang membuat Aira tersenyum sendiri dalam kesendiriannya di apartemen selama beberapa hari belakangan ini. Contohnya saja saat Dewa menghirup kopi yang dibuatnya saat mereka baru saja bangun pagi, Dewa memandangnya penuh keterkejutan tapi tak mengucap apa pun. Cowok itu baru berucap setelah menghirup separuh kopinya. Dan ucapan itu adalah terima kasih.

Selama dua tahun tinggal dengan si keparat Aldi, lelaki itu tidak pernah sekali pun mengucap terima kasih atas apa yang telah dilakukannya. Bukan hanya sebatas terima kasih dalam hal makanan dan minuman. Untuk sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya sekali pun, Aldi tidak mengucapkannya.

Dan bukan hanya itu saja. Dewa juga menyelipkan amplop berisi beberapa lembar uang di dalam tasnya. Aira hampir saja menangis melihat benda itu. Bukan karena dia membutuhkan uang. Tapi karena cara Dewa yang demikian sopan. Bukan dilempar di atas tempat tidur seperti yang dilakukan banyak lelaki ketika memberi tip tambahan untuknya.

Hal itu membuat Aira tak sadar melayani semua kebutuhan Dewa. Sejenak dia merasa seperti menjadi seorang istri yang sedang menyiapkan kebutuhan suami. Mulai dari sarapan sampai baju. Seringkali dia melihat sorot keheranan dalam wajah Dewa. Tapi Dewa tetaplah Dewa. Tak banyak berkomentar dan menutupi keheranannya dengan melakukan hal yang lain. Tak sadar Aira tersenyum saat mengingatnya.

“Kenapa senyum-senyum sendiri?” pertanyaan Dewa membuat Aira gelagapan. Gadis itu menoleh kemudian baru menyadari kalau dia sudah tiba di depan rumah Aldi.

“Ehm, nggak apa-apa kok. Eh, tapi, Wa, bukannya kita udah bareng lima hari? Itu berarti tinggal dua hari lagi gue nginap di apartemen lo. Gue kira nggak perlu ambil barang-barang kalau lusa harus gue bawa lagi.”

“Lo nggak usah balik ke sini lagi.”

Kening Aira berkerut. “Maksud lo, Wa?”

Dewa heran. Dalam keadaan apa pun, sedang marah, sedih, senang, atau kesal, Aira tetap bisa mengontrol diri dengan bersuara lembut. Saat ini pun, dengan wajah keheranan, suara Aira masih saja sayu seperti semula.

“Lo tinggal bareng gue. Gue akan bilang sama Aldi.”

Mata Aira melotot. “Aldi nggak akan ngizinin, Wa. Dan lagian, kalau lo nekat, dia bisa ngelakuin apa aja buat nyelakain lo.”

“Kalau dia nggak ngizinin, gue akan lapor polisi atas tuduhan menjual adiknya sendiri,” jawab Dewa tenang tidak gentar sedikit pun dengan dugaan ancaman yang diucapkan Aira.

“Tapi, Wa, sampai kapan?” Aira mendesah tidak mengerti. Dia menatap mata Dewa lekat-lekat. “Lagian gue juga butuh uang buat...”

“Gue akan tanggung kebutuhan lo.”

“Dengan uang bokap lo?” suara Aira tidak berubah. Tapi Dewa menangkap kesan sinis di dalamnya.

“Kalau bokap udah mengatasnamakan sebuah rumah kost dengan nama gue, dan kamar rumah itu sekarang full mahasiswa, apa penghasilan dari rumah itu belum bisa disebut uang gue?”

***

Jangan lupa votenya ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa votenya ya...

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang