Dewa : La, lo balik sama temen-temen lo ya. Gue ada perlu sekarang.
Nala tak kecewa. Dia justru tersenyum.
Nala : Iya, Kak. Santai aja. Gue pulang dulu ya.
Nala mengemasi buku-buku ke dalam tasnya. “Eh, hari ini gue balik sama kalian ya? Kak Dewa nggak bisa ngaterin gue nih.”
Semenjak jadian dengan Dewa, Nala jarang pulang dengan kedua temannya. Sedangkan Dinna hanya beberapa kali dalam seminggu pulang bersama Lexi. Kalau kedua temannya pulang dengan pacar masing-masing, Bianca hanya bisa mendengus dan pulang sendirian. Kesendiriannya pernah menjadi bahan ledekan Surya.
“Gue sama Dinna mau ke gramed. Dinna ngebet novel terbaru lagi. Lo ikut?”
“Yah, nggak langsung pulang nih? Perut gue mules banget gara-gara hari pertama dapet.” Wajah Nala tertekuk muram menahan kenyerian. Dia berharap bisa segera pulang dan membersihkan diri. Setelah itu mengolesi perutnya dengan minyak kayu putih lalu tidur sampai sore.
“Duh, kesian.” Dinna membelai lengan Nala. Dia tahu seperti apa sakitnya hari pertama datang bulan. “Lo nggak usah ikut deh, La. Langsung pulang aja. Perlu kita anterin?”
“Nggak deh. Gue pesen go-jek sendiri. Kalian pulang aja dulu. Gue mesti ke toilet. Ganti pembalut. Kayaknya udah penuh banget.”
“Oke deh, La. Jangan lupa minum obat pereda nyeri ya. Kalau habis, minta aja di UKS,” saran Bianca dan dibalas dengang anggukan kepala. Setelah itu Bianca dan Dinna melambaikan tangan keluar kelas. Sementara Nala bangkit malas dari duduknya menuju toilet.
Sekeluarnya dari toilet menuju gerbang sekolah, dia bertemu dengan Afkar. Melihat Afkar dia jadi teringat obrolannya dengan Dewa beberapa hari yang lalu.
“Terus, hubungannya sama gue apa, Kak? Lo nggak cemburu, kan?”
Dewa menarik Nala untuk menjauh dari pintu ruang musik supaya obrolan mereka tidak terdengar. “Afkar berpotensi bikin lo suka sama dia.”
“Gue tahu Kak Afkar keren. Tapi gue nggak akan tertarik karena pacar gue lebih keren,” Nala tersenyum melihat wajah Dewa yang agak cemberut. Baru kali ini dia melihat sisi lain Dewa yang kekanak-kanakan.
“Gue percaya lo nggak akan main api di belakang gue. Tapi gue nggak percaya sama dia. Dia bisa aja suka sama lo setelah denger permainan piano lo.”
“Kayak lo dulu, Kak?” Nala menahan tawa.
Dewa mendengus karena pertanyaan Nala seolah menyindirnya. “Udahlah, lo masuk aja. Gue balik ke lapangan.”
Nala mengangguk kemudian hendak berbalik ketika Dewa menarik tangan kanannya kemudian mengecup jemarinya. Nala terenyak tak menduga. Kecupan sederhana itu membuatnya membeku di tempat. Kehangatan dari bibir Dewa seperti merayap naik ke dalam hatinya. Mungkin Nala tak akan sadar dari pesona Dewa kalau saja cowok itu tidak mendorong lembut punggungnya agar segera masuk ruang musik.
Panggilan Afkar menyadarkan Nala dari ingatannya tentang Dewa. Gadis itu menoleh lalu tersenyum. “Ya, Kak?”
“Lo pulang sendiri?”
“Iya. Biasanya sih sama temen-temen gue. Tapi Bianca dan Dinna mau ke gramed sedangkan gue pengin segera pulang, jadinya pulang sendiri deh.”
“Bareng gue deh. Rumah lo di mana?”
“Em, kok lo nggak tanya gue pulang naik apa?” tanya Nala penasaran karena Afkar tahu dia tidak membawa kendaraan.
“Gue tahu kalian bertiga tiap hari pesen go-car. Tiap hari mobil jemputannya berbeda sih.” Afkar tertawa geli. Nala ikut tertawa.
“Iya. Lebih irit. Bisa ditanggung bertiga.”
“Kalau pulang bareng gue malah gratis. Yuk!”
“Eh, tapi, Kak? Gue...” Nala tidak enak jika langsung bilang kalau dia sudah punya pacar. Padahal Afkar juga sudah tahu. Jadi bagaimana mungkin Afkar berani mengajak pulang pacar temannya?
“Gue tahu lo pacar Dewa. Gue kan cuma mau anter lo pulang, bukan ngajak selingkuh,” potong Afkar enteng.
Nala terlihat bimbang. Sekali pun ini hanya pulang bersama, tidak berselingkuh seperti yang diucapkan Afkar, tapi kenapa perasaan Nala menjadi tidak nyaman? Dan kenapa Afkar seolah memaksanya sampai dia tidak bisa menolak?
“La, gue janji, ini cuma pulang bareng aja,” kata Afkar seperti mengetahui kebimbangan Nala. Seketika Nala merasa canggung dan mengiyakan karena tidak ingin mengecewakan Afkar.
“Oke deh, Kak. Rumah gue di...” Nala menyebutkan sebuah komplek perumahan yang tidak jauh dari lokasi sekolah.
Selama perjalanan yang hanya membutuhkan waktu lima belas menit, tak ada satu pun yang bicara. Nala yang baru mengenal Afkar juga tak enak mengajak bicara lebih dulu. Sedangkan Afkar yang awalnya mudah membuka obrolan menjadi membisu entah kenapa. Ketika mereka tiba di depan rumah Nala, Afkar masih diam. Cowok itu hanya tersenyum tipis.
“Makasih ya, Kak, udah ngaterin aku.” Nala memberikan helm yang baru saja dipakainya kepada Afkar. Setelah itu Nala heran kenapa Afkar tidak segera pamit untuk pulang.
“Gue boleh mampir?” tanya Afkar diluar dugaan Nala.
“Eh, i-iya boleh, masuk yuk!” tak enak menolak permintaan Afkar yang seharusnya dirinyalah yang menawarkan untuk mampir, Nala cepat-cepat membuka pagar rumahnya. “Masukin aja motornya.”
Afkar menstarter motornya dan memberhentikannya di carport. Setelahnya, Nala mengajak Afkar masuk.
“Di teras aja, La.”
“Oke,” jawab Nala lemas. Seharusnya pada menit ini dia sudah berleha-leha di atas kasur sambil memejamkan mata. Sayangnya keadaan tak berpihak padanya karena kedatangan Afkar.
“Gue nggak ganggu lo, kan?” tanya Afkar ketika sudah duduk di bangku teras.
“Nggak kok, Kak. Aku ambilin minum dulu ya.” Nala masuk ke dalam ruang tamu dan mengambil beberapa gelas air mineral. “Diminum, Kak.”
Afkar meneguk segelas kemudian menyandar santai sambil menoleh. “Gue suka lihat lo main piano tadi,” ucap Afkar jujur.
Sekolah mereka hanya punya dua digital piano. Selebihnya ada empat keyboard yang lebih sering digunakan oleh siswa-siswa. Sejauh ini hanya Nala yang bisa memainkan piano yang sering nganggur itu. Karena piano memang lebih banyak tutsnya dari pada keyboard. Sedangkan keyboard dilengkapi musik pengiring yang memudahkan orang memainkannya. Dan melihat Nala sanggup menciptakan alunan musik indah dari piano tersebut, Afkar tak dapat lagi mengalihkan perhatiannya dari pesona Nala.
“Boleh gue tahu, gimana ceritanya lo bisa jadi pacar Dewa?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...