Bab 42

146 8 4
                                    

Viktor Alexander POV

Seperti biasa, hari libur adalah hari yang sangat membosankan.

Tapi sialnya, hari ini bukan hari biasanya. Hari ini sangat menegangkan bagiku (yah, ga tegang banget sih) karena aku akan bertemu dengan calon pacar—atau istri, terserah!—di sebuah cafe bernama Rucker Park.

Belakangan, aku tau bahwa di cafe itu harganya cukup mahal.

"Lex, kamu pakai kemeja putih sama jas yang ada di lemari ya. Mama udah taruh di sana," kata mamaku sok bijak.

Bleh! Dia pikir aku tidak punya mata hah?

"Iya, iya!" sahutku jengkel. "Axel ikut juga?"

"Iya," kata papaku menyahutiku. "Dia juga bakal ikut sama Vina."

"Omong-omong, kamu udah tau kalau Ria sakit jiwa?" tanya mamaku.

"Udah tau dari jaman Neolitikum, keles," sahutku singkat. "Udah ah, Alex mau ganti baju dulu."

Tanpa mendengar lagi panggilan dari kedua orangtuaku, aku buru-buru masuk ke dalam kamarku dan melihat pakaian yang ada di dalam lemari. Oh sial. Aku paling tidak tahan memakai pakaian seperti itu lama-lama!

"Ma, bajunya ga ada yang lain, hah?" teriakku jengkel. "Mama mau aku sesek nafas lagi kayak waktu itu?"

Konyol, tapi aku memang pernah memakai baju ini di suatu acara formal. Dan dengan bodohnya, aku berkata pada ibuku bahwa aku sesak nafas dan keringat dingin pun bercucuran di sekujur tubuhku.

Sejak saat itu, aku paling anti memakai pakaian seperti itu, walau kata orang sih, aku terlihat keren ketika memakai pakaian itu.

"Jasnya bawa dulu aja. Pakenya di sana aja. Yang wajib kamu pake sekarang cuma kemeja sama celana aja!" teriak mamaku.

Huh, syukurlah. Setidaknya aku tidak perlu berkeringat dingin dan bertingkah memalukan seperti tempo hari.

Aku buru-buru mengganti bajuku dan bercermin. Ya udahlah ya.

Aku melengos pergi dan menuju ke bawah. Ternyata, di ruang keluarga, sudah ada kedua orangtuaku, Vina, dan juga Axel dengan pakaian yang sangat rapi. Bahkan aku yang ingin dijodohkan pun kalah rapi dengan mereka.

"Alex! Kamu kok pakaiannya berantakan gitu sih?" tanya mamaku.

"Abisnya, kalo kemejanya dimasukkin ke celana, jadinya jelek. Kayak anak culun ga bersahaja," kataku cuek.

Mamaku menghela nafasnya. "Ya udah, sekarang kamu masuk ke dalam mobil," katanya. "Kamu ikut sama Axel dan Vina ya."

"Ma, Alex mau berangkat sendiri aja!" seruku jengkel. "Alex ga mau disetirin sama Axel!"

"Alex!" kata papaku dengan nada mengecam. "Jangan bertingkah kamu ya!"

Aku hanya cemberut seraya mengikuti Vina dan Axel yang sudah berjalan mendahuluiku. Aku masuk ke dalam mobil Axel dan menutup pintu mobil itu dengan keras.

"Lex, santai aja napa sih?" tanya Axel jengkel.

Aku hanya menatap Axel bete lalu beralih pada Vina yang sudah duduk di sebelah kakakku. "Vina, Ria gimana sekarang? Udah membaik belom?"

"Yah, membaik banget sih belum. Cuma udah better lah," katanya. "Ini juga berkat dana yang kalian sumbangin buat dia."

"Emangnya, lo nyumbang apaan, Lex?" tanya Axel. "Terus, siapa kalian yang dimaksud sama Vina?"

"Oh, kita nyumbang dana buat pengobatannya Ria biar dia ga gila lagi," sahutku enteng. "Yang ngusulin nyumbang juga bukan gue. Vela duluan yang ngusulin. Yang nyumbang dana tuh ada gue, Vela, Cindy, Kila, Nita, Nando, Frankie, Tama, Sheina, Kirana, Ana, sama Dena."

{#MGF1} My Girl Friend My Soulmate--CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang