Pukul sepuluh malam, keduanya sampai dirumah Shani. Tapi tak ada yang beranjak dari duduknya masing masing. Mata Shani tetap menatap lurus ke depan, entah apa yang ditunggunya.
"Cici..." panggil Gracia.
Shani menoleh tanya, mengarahkan telunjuknya pada dirinya.
"Iyalah, siapa lagi. Karena kamu dulu aku panggil kakak gak mau, jadi sekarang aku panggil cici aja"
Tak bisa di pungkiri, sudut hatinya terasa menghangat. Gracia sudah tidak memakai elo - gue lagi padanya, ah iya jangan lupa nada lembutnya juga.
Gracia melepaskan seatbelt pada Shani, dia hendak menarik dirinya kembali, tapi ditahan oleh Shani. Gracia menoleh, seringai langsung terbit kala menangkap raut tertahan dari Shani.
Dengan cepat, Gracia mengecup bibir Shani. "Gak usah ditahan, asal aku gak dipaksa pasti mau kok hahaha"
Tawa Gracia meledak kala Shani menampilkan wajah cengonya. "Biasa aja dong ci mukanya, kayak baru pertama aja"
Shani tersadar dan dia merasa malu sekarang. Apalagi rautnya terbaca kala menginginkan Gracia. Cepat cepat dia beranjak keluar, membuat tawa Gracia semakin keras. Shani mengintip ke dalam mobil. "Hati hati pulangnya"
Tanpa menunggu jawaban Gracia, Shani segera berlalu dari sana dengan sedikit berlari. Gracia hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu. Ah, apa mereka masih bisa disebut sahabat?. Tapi disebut pacar juga tidak mungkin, nah bingung kan.
Saat baru membuka pintu, Shani disambut oleh kedua orang tuanya. Tio segera berdiri, begitu juga Dira. Mereka meneliti Shani dari atas hingga bawah, memastikan Shani baik baik saja.
Shani memutar bola matanya. "Ma, pa, Shani baik baik aja kok, tenang aja."
Dira menatap Shani, meneliti sebentar wajah Shani. "Wajah kamu kok merah, Gracia gak ngapa ngapain kamu kan?"
Seketika wajah Shani semakin memerah, kala mengingat kelakuan mereka diatas bukit tadi. Dia merutuki kulitnya yang terlalu putih, jika dalam kondisi seperti ini, semu di wajahnya akan sangat terlihat.
"Lah, kok tambah merah. Gracia gak macem macem kan?" lanjut Tio.
Shani menggeleng kuat, "enggak kok, ngapain macem macem, dia satu macem aja udah bikin kewalahan."
Dira dan Tio tersenyum, menangkap maksud dari perkataan Shani. Lalu Tio mengelus puncak kepala Shani.
"Jadi tadi beneran kencan nih ceritanya" tanya Tio dengan nada menggoda.
Shani menepis tangan Tio, "apaan sih pa, enggak iihh. Aku ke kamar aja deh" dia segera berlari menjauhi papa dan mamanya. Sebelum mereka menerka semakin jauh.
Tio dan Dira tersenyum, Shani memang menghindar, tapi mereka sudah terlanjur membaca raut dan gelagat Shani. Tio lalu merangkul Dira, "anak kita sudah besar ma"
"Iya pa, seneng liat dia malu malu gitu"
"Lagi lagi karena Gracia, kita harus berterima kasih pada anak itu. Walaupun hubungan mereka salah, tapi bagaimanapun dia telah merubah Shani."
"Sudah cukup kita mengekangnya selama ini pa, dia sudah menemukan potongannya yang selama ini hilang, sekaligus pelindungnya. Mama lega lihatnya"
Jauh didasar hati mereka tidak rela Shani menjalani hubungan seperti itu. Tapi ini semua demi kebahagiaan putri mereka, yang bahkan selalu mereka usahakan. Hanya dengan beberapa jam, seseorang bernama Gracia sudah berhasil membuat sisi lain dari Shani terlihat. Sisi selain datar dan kaku.
*...*
Shani terlihat gelisah sekarang, padahal ini sudah pukul satu dini hari. Dia membalikkan badannya ke arah kanan, mencoba mengundang rasa kantuknya. Beberapa menit kemudian dia mengerang membuka matanya kembali, menyerah. Lalu bangkit dan berjalan menuju balkonnya.
Angin malam langsung menerpa pori porinya, kala membuka pintu balkon. Dia memandang langit dan melihat bintang bertebaran. Senyumnya perlahan terukir kala mengingat kembali kejadian di bukit tadi. Dia mulai berpikir tentang hubungannya dan Gracia, setelah kejadian tadi, apakah Gracia sudah bisa disebut kekasihnya?.
Tapi Gracia tadi tidak menyatakan perasaannya juga, Shani saja tadi yang sudah terlanjur jujur. Dia jadi penasaran dengan perasaan Gracia padanya. Apakah cintanya bertepuk sebelah tangan?, apakah perlakuan Gracia akan sama padanya?. Semua pertanyaan itu yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Shani menghembuskan nafasnya, mulai mendongak lagi menatap bintang. Tangannya terulur seakan sedang menghitung bintang, lalu dia gerak gerakkan seperti membentuk sebuah rasi. Senandung sebuah lagu perlahan terucap dari bibirnya.
Bulan tolong katakan
Bintang bantu bisikkan
Kepada dirinya kalau aku mau
Jadi kekasihnyaShani terkekeh pelan, kala menyadari dirinya menjadi DGK kalau sudah menyangkut Gracia. 'Sejak kapan aku begitu memuja seseorang sampai seperti ini?'
Seiring dengan ingatannya tentang Gracia, senyum Gracia pun menyembul dari ingatannya. Diikuti senyum dari bibirnya, tangan kanannya perlahan terangakat menuju dada kirinya.
Deg deg deg deg
'Baru kali ini aku merasa jantungku bekerja ekstra, biasanya dia tak pernah berdetak secepat ini hanya karena mengingat seseorang'
Tidak mau terlarut lagi ke dalam pikirannya, Shani melangkah masuk. Dia menatap langit langit kamarnya, lagi lagi bayangan wajah Gracia memenuhi ruang pikirnya. Jahilnya, perhatiannya apalagi senyumnya. Shani tersenyum menangkup pipinya, ah jika dibayangkan terus, bisa jadi gila dia.
Tanpa sadar, dia memejamkan matanya. Kesadarannya terenggut, dengan senyum terukir di bibir.
'Good night, calon pacar'
Tbc
Pendek aja dulu, beberapa part ke depan, kita akan fokus membahas bagaimana mereka selanjutnya. Emang dasarnya saya aja yang mood nulisnya sedikit turun 😁
Gak baca ulang, maaf jika ada typo bertebaran 🙏
Vote dan komen jangan lupa 🙏
Keyhole💜
