yang bikin kamu gak bahagia, buang.. lepasin.. yang halangi jalanmu, tabrak.. jatuh, bangun lagi.. disakiti, pergi.. nangis, usap sendiri air matamu.. gak usah gantungin hidup sama oranglain.. kamu kuat, kamu bisa lebih dari ini.
Biasanya jika dulu Gracia sakit, mamanya adalah orang pertama yang selalu dia lihat saat membuka mata, Dengan wajah khawatir dan kelelahan. Tapi sekarang, jangankan melihatnya. Keberadaannya saja Gracia tak tahu. Entah dirumah, atau pergi bersama orang lain. Jika di beri pilihan, tentu dia tak ingin kedua orang tuanya berpisah. Tapi dia tahu jika dipaksakan, malah akan menyakiti keduanya.Pandangannya memang mengarah pada Shani yang sedang tertidur. Tapi tatapannya jauh berkelana di alam bawah sadar.
"Biasa aja kali lihatnya. Shani gak bakalan tiba - tiba menghilang kok."
Gracia tersentak kaget. Dia menoleh dan mendapati Edgar dengan kantong plastik di tangannya. "Lo darimana?."
Edgar menaruh kantong plastik itu dan duduk di sofa. "Dari beli makan, sama Aurel juga tadi kesini. Hebat banget lo udah bisa duduk santai gitu, gak sakit?."
"Sakit, tapi udah biasa. Kok lo biasa aja sih liat gue udah bangun?."
"Ya terus gue harus jejingkrakan disini dan terjun ke lantai bawah gitu?. Gue kira tadi malahan itu arwah lo yang lepas dari tubuhnya hehe."
Gracia mendengus sebal dan mengalihkan tatapannya kembali pada Shani. Memandang wajah damai Shani saat sedang tertidur. "Ayah udah sadar belom?."
Edgar membuka bungkus snack yang tadi dia beli dan memakannya, "Udah kok, tapi om David sekarang langsung cus ngurusin proyeknya agar cepet selesai."
Helaan nafas keluar dari bibir Gracia. "Kalo tau proyek ayah bakal nimbulin kesalahpahaman, mendingan gue aja yang urusin."
"Gue tau elo pinter, tapi Ini bukan masalah proyeknya, ini masalah kesalahpahaman itu dan sialnya kita berurusan sama biang kerok psycho macam Fadil kampret."
Gracia terkekeh, "Lengkap banget lo ngumpatnya."
"Kok lo gak dendam sih di tusuk sampe kayak gitu?." Heran Edgar.
Gracia tersenyum miring. "Buat apa dendam, itu hanya buat hati gue kotor. Gue ngerti rasanya di posisi Fadil, dia hanya gak tau kenyataannya. Btw kabarnya sekarang gimana?."
Edgar meremas bungkus snacknya. "Udah masuk penjara, jadi lo gak usah khawatir dan kasian sama dia. Itu udah pantes buat banci belagak macam si kampret itu."
Gracia masih termenung memikirkan semuanya, semua yang telah terjadi belakangan ini. Bukan salah dia jika memang dia terlalu perasa. "Lo pulang sana, keliatannya lo juga capek. Gak perlu merasa bersalah, gue gak apa apa."
Edgar terkekeh dan beranjak menuju Gracia. "Tau banget lo, heran gue. Kok ada manusia hebat kayak lo, baru aja sadar udah banyak tingkah."
"Udah tau kalo gue hebat, Awas aja kalo lo naksir sama gue, gue hajar sampe mampus lu. Sana pergi." Gracia mendorong Edgar agar segera keluar.
"Halah, bilang aja elo habis ini mau dusel duselan sama Shani kan? Makanya ngusir gue secara halus."
"Bacot lo, udah sana pergi."
Edgar tertawa puas dan segera keluar. Meninggalkan Gracia yang kini tersenyum memandang wajah tidur Shani. 'Apa gue ikutan tidur sebelah Shani aja ya?. Ah, Ide bagus.'
Tapi saat dia sudah berdiri dan mengangkat kakinya hendak naik ke bangsal, sakit di perutnya kembali terasa. "Awh, sssshhh kok sakit banget sih."
Gracia pun kembali menurunkan kakinya, tak jadi naik ke ranjang. Dia memanyunkan bibirnya kesal dan menghela nafas. "Payah banget sih gue, padahal kan gue pengen banget ndusel sama Shani. Hhhhhhh"
Dengan kekesalan yang masih tersisa, Gracia berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Pemandangan kota saat malam hari tersuguh di depan matanya, dengan pelan dia mulai memutar slot jendela dan membukanya. Udara malam yang dingin seketika menerpa wajahnya.
Gracia memejamkan matanya, menarik nafasnya dalam untuk dia hembuskan setelahnya. Matanya kembali terbuka dan mendongak menatap langit yang dihiasi awan mendung yang berarak. Bulan terlihat malu malu untuk menampakkan eksistensinya.
Lama lama pikirannya melayang pada kejadian yang belum terlalu lama terjadi. Saat kepindahannya yang tiba tiba, saat dia kembali bertemu Shani, dan saat Shani menyatakan cinta padanya. Dia harus mulai berpikir tentang perasaan Shani. Karena dia tak mau sahabatnya terus berharap pada orang seperti dirinya.
Sepuluh menit berlalu, Gracia kembali menutup jendelanya dan berjalan ke arah bangsal. Nafas Shani yang teratur terdengar jelas di telinga Gracia karena heningnya kamar ini.
Gracia berdiri di samping bangsal dan perlahan menurunkan kepalanya. Mengikis jarak antara dia Shani, dia memejamkan matanya saat hidungnya bersentuhan dengan milik Shani. Sebenarnya debaran yang Gracia rasakan sudah cukup menjadi bukti hatinya dimiliki oleh siapa. Tapi bayang bayang wajah Shani saat tersenyum membuat dia malah ragu.
Bagaimana jika suatu saat dia membuat senyum manis di wajah Shani luntur?. Bagaimana jika dia bukannya menciptakan tawa, tapi malah menciptakan luka. Gracia hanya terlalu sayang dengan Shani, hingga membuat keputusan itu sangat sulit baginya.
Dia lalu kembali menjauhkan wajahnya dan duduk. Dengan keisengan yang baru mulai, Gracia menusuk nusuk pipi Shani. "Kamu kalo tidur kok kayak orang pingsan sih, masa tadi aku becanda sama Edgar kamu gak kebangun."
Mungkin karena merasa wajahnya geli dan terganggu, Shani melenguh dan mengerjapkan matanya. Kesadarannya belum kembali sepenuhnya, dia lalu bangun menampakkan ekspresi bingung. Mengundang kekehan dari Gracia.
"Loh kok?." Shani memandang bergantian pada Gracia dan bangsal. Saat sadar, dia segera turun dan memeluk Gracia dengan erat.
"Bodoh banget sih jadi orang, bandel, gak kenal takut. Gak bisa dibilangin, kenapa harus bangun gitu sih. Kenapa gak sekalian gak bangun kamu hah?"
Tawa pelan keluar dari bibir Gracia, "Jadi kamu doain aku mati nih?."
Shani melepaskan pelukannya dan menatap Gracia tajam, membuat Gracia nyengir kuda. Tanpa berkata apapun lagi, Shani keluar dari ruangan. Kali ini cengiran Gracia lenyap digantikan dengan raut bingung.
"Salah gue apa ya?."
Tbc
Setelah baca, Vote dan komen jangan lupa. Part depan ending.
Maaf jika ada typo
Keyhole💖