Jatuh hati tidak butuh alasan, lalu kenapa patah hati harus pakai alasan? - Fiersa Besari
.Bugh bugh bugh
Gracia terkapar di tengah arena, nafasnya terasa putus putus. Edgar yang melihatnya langsung masuk ke dalam ring dan membawa Gracia keluar. Sorak sorai penonton langsung menggema saat melihat seorang Gracia terkapar.
Saat di ruang kesehatan, Edgar terus menerus meneriaki Gracia agar tetap sadar. "Gre!! Tetep sama gue Gre. Plis jangan tutup mata lo."
Gracia kemudian mengerjapkan matanya, senyum tipis nampak di bibirnya. "Gue belom mati bego."
Setelah mendengar suara Gracia, Edgar menghela nafasnya keras. "Bangsat banget sih lo jadi cewek, kalo niat tanding itu yang fokus. Kalo ujungnya lo kalah kek gini gausah tanding mendingan."
"Sorry, besok gue ganti uang lo." Jawab Gracia lemah.
"Lupain masalah uang itu, yang penting lo harus baikan dulu." Kata Edgar sembari mengusap wajahnya kasar.
Seorang perawat wanita terlihat memasuki ruangan, Gracia sudah kenal dengan suster itu. Bahkan kini raut suster itu menjadi sedikit cemas.
"Hallo suster Nat, makin comel aja nih." Kata Gracia sembari mengubah posisi jadi duduk.
Suster Nat kemudian mendekat dan memegang wajah Gracia. Memutarnya ke kanan dan ke kiri. "Hhhhhh, biasanya saya yang rawat lawan kamu. Terus kenapa harus kamu yang sekarang saya rawat?"
Gracia nyengir kuda. "Sekali - kali kalah gapapa kan sus, kalo menang terus nanti dikira minta bantuan setan lagi."
Sedangkan Edgar mulai sedikit tenang karena sahabatnya baik baik saja. Apalagi melihatnya yang sudah bisa bercanda. Setelah suster Nat selesai membersihkan luka Gracia, terutama pada pelipis yang mengeluarkan banyak darah, dia mengajak Gracia untuk segera pulang.
Di perjalanan pulang, Gracia kembali mengeratkan bibirnya. Seakan jika dia berbicara, maka seluruh dunia akan musnah. Bukan tanpa alasan Gracia kalah di arena. Konsentrasi dia terganggu akibat suasana hatinya yang berkecamuk.
"Udah sampe." kata Edgar memecah keheningan.
"Makasih." saat Gracia akan membuka pintu mobilnya, Edgar menahannya.
"Jangan terlalu larut dalam hati lo, Gracia gue bukan orang yang mudah menyerah." suara Edgar terdengar pelan dan memohon.
Melihat itu Gracia mau tak mau harus menarik sudut bibirnya. "Gue gak papa, lo tenang aja. Sorry gue gak bisa lebar senyumnya, sakit bibir gue sialan."
Mereka berdua terkekeh, kemudian Gracia segera keluar. "Jangan bilang ayah kalo gue kenapa napa ya!"
Edgar hanya mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Gracia berbalik, secara otomatis tatapan matanya menatap pada balkon kamar Shani. Dia melihat siluet di balik jendela itu, setidaknya dia tahu bahwa Shani sedang menatapnya disana.
Kemudian dia tersenyum dan mengacungkan Love Sign dari tangannya. Seketika itu Shani berbalik dan mengabaikannya. Helaan nafas keluar dari bibir Gracia.
"Kalo kangen kan tinggal bilang aja ya, kenapa harus sembunyi gitu." Dia kemudian berlalu masuk ke rumahnya dengan bibir mengerucut.
Hampa. Itulah yang pertama kali dia rasakan saat masuk. Sudah seminggu dia tidak pulang ke rumah ini. Dia hanya tidak mau menjadi gadis cengeng jika melihat Shani. Apalagi jika mengingat betapa seringnya dia melompat ke kamar Shani. Aduh, mau dikemanakan bakat maling itu.
.
..
...Sementara itu di sebuah kamar yang tak terlalu jauh dari Gracia. Seorang gadis sedang Berbaring uring uringan di ranjangnya. "Kenapa Gracia baru pulang sekarang ya, dia kemana aja seminggu ini. Dan tadi kenapa pelipis dia diperban ya."
