Mertua

4.6K 351 78
                                    

Plak! Plak! Plak!

Beberapa tamparan mendarat di sebuah pipi seorang pemuda tampan. Terlihat seorang yang lebih tua tak mampu menahan amarahnya.

"APA YANG SALAH DENGAN DIDIKAN AYAH EDGAR?!"

Seorang yang ternyata pak Rahman, ayah dari Edgar itu meluapkan amarahnya. Menatap sang Anak seakan dia adalah pendosa paling keji di dunia.

Edgar berlutut, mendongak menatap ayahnya dengan sendu. "Ayah gak salah apa apa, aku yang salah. Aku yang lalai mengendalikan perasaanku hingga aku jatuh cinta pada seorang lelaki."

"Jauhi dia Edgar, ayah tidak mau mempunyai anak menyimoang seperti kamu."

Airmata hampir saja jatuh di pipi Edgar, tapi dia menahannya. "Apakah mencintai sesama manusia itu termasuk menyimpang ayah?"

Plak!

Pak Rahman kembali melayangkan tamparannya pada Edgar. "TAPI DIA LELAKI SAMA SEPERTIMU EDGAR!"

Kini airmata sudah membanjiri pipi Edgar, tamparan ayahnya tidak sebegitu sakitnya ketimbang sakit dihatinya. "Aku mencintainya bukan karena dia lelaki yah, tapi aku mencintainya karena dia adalah dia."

Plak! Plak! Plak!

Seakan belum puas dengan jawaban sang anak, pak Rahman kembali melayangkan tamparannya. Amarahnya begitu jelas terlihat. Raut kecewa pun sudah tak bisa disembunyikan lagi. "Tau apa kamu soal cinta hah?"

Edgar menunduk, kini bahkan sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah. Dia kembali mendongak, menatap sang ayah dengan sendu. "Cinta itu kayak ayah merasa ingin selalu melindungiku, selalu berusaha agar aku baik baik saja. Seolah semua prioritas ayah itu aku, itu juga yang aku rasakan terhadap Dewa yah. Aku mencintainya, menyayanginya sama seperti ayah kepadaku. Bisakah kita singkirkan masalah gender dulu yah? Bisakah kita pandang soal hati dan rasa ini dulu yah?"

Kini pak Rahman ikut berlutut di hadapan Edgar, kamar basecamp yang sepi itu menjadi saksi bisu perselisihan paham antara keluarga ini. Airmata pak Rahman menetes. "Sejak kamu ditinggal ibumu, ayah gak bisa memikirkan hal lain selain kebahagiaanmu. Kita akan jadi gelandangan jika pak David tidak menolong kita. Sekarang anak pak David juga sama seperti kamu, apakah kamu menularinya?"

Edgar mengalihkan pandangannya, hatinya sangat sakit melihat airmata sang ayah. "Perasaan ini bukan penyakit yah, ini tidak menular. Bisakah ayah tidak menganggap ini adalah salahku? Ini murni soal rasa yang datang dari hati yah."

"Ayah selalu menjadi lemah jika membahas soal kebahagiaan kamu, Ayah akan memberimu kesempatan. Kesempatan untuk menemukan siapa diri kamu, bukan berarti ayah merestuimu. Gunakan kesempatan ini dengan benar, ayah memberimu kesempatan ini dengan Dewa."

Edgar segera memeluk ayahnya, menangis seperti balita yang minta permen. Meskipun ayahnya belum merestuinya, setidaknya dia punya kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan jika perasaannya pada Dewa itu murni.

"Terima kasih ayah, aku menyayangimu."

.
..

....

Sementara itu disebuah ruang keluarga di kediaman Gracia, dia menatap seseorang di depannya dengan datar. "Ada apa mama kesini?"

Veranda yang ternyata mama Gracia, menghela nafasnya. Dia berpindah duduk untuk mendekat ke arah anaknya. "Gracia, mama mau minta maaf. Mama tau maaf ini gak berguna, tapi mama sungguh gak bermaksud untuk membuang kamu kesini. Justru karena mama sayang, makanya mama menempatkanmu disini."

Helaan nafas juga lolos dari bibir Gracia. Dia kemudian menubruk sang mama dan memeluknya erat. "Aku udah maafin mama kok, bahkan sejak pertama aku nginjak kaki disini lagi, aku udah maafin mama."

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang