Moon Come

4.3K 411 87
                                        

Suasana di dalam kamar Gracia masih terasa canggung. Setelah Shani mengangkat telfonnya tadi, belum ada percakapan dari keduanya.

"Ngomongin apa tadi sama Riswan?" Akhirnya Gracia membuka suaranya lebih dulu.

Shani menoleh sebentar, "Dia minta temenin ke Gramed."

"Terus kamu mau?"

"Belum aku kasih jawaban."

Gracia kemudian mendekat dan menyenderkan kepalanya pada Shani, lagi. "Yaudah gak usah, temen dia gak cuma kamu aja kan. Sedangkan pacar aku cuma kamu aja."

"Iya." Sial. Jantung Shani selalu berulah seperti ini jika di dekat Gracia, dia pikir setelah menjadi pacarnya, akan berkurang. Tapi justru kini debarannya semakin kencang dan menyenangkan, apalagi kini dia juga mulai merasakan desiran yang baru pertama kali dia rasakan. Katakanlah Shani bucin, dia gak apa apa. Emang gitu kok rasanya, makanya kalian cepet punya pacar sana.

Untuk menetralisir desiran halus itu, Shani mengambil coklat dan membukanya. Tatapannya masih fokus pada tv sambil makan, Gracia pun hanya diam saja. Sebelum tangan Gracia menggenggamnya dan memberikan usapan halus disana.

"Maafin aku ya, aku tadi hampir lepas kontrol." Kata Gracia terdengar menyesal.

Shani yang mendengarnya jadi tidak tega, dia lalu melayangkan kecupan singkat pada puncak kepala Gracia. "Iya gak papa, itu bukan sepenuhnya salah kamu kok."

Mendengar setiap decapan Shani yang mengunyah coklat itu, membuat sesuatu dalam diri Gracia bangkit. "Oh shit, jangan lagi."

Sekuat tenaga dia menahannya dan memejamkan matanya, mengatur nafasnya agar tidak membuat Shani curiga. Di usia mereka yang segini, tentunya hormon dalam diri mereka sedang berkembang pesat. Tak heran jika kadang mereka lepas kontrol.

Setelah berhasil sedikit meredam nafsu yang sempat bangkit tadi, Gracia mengangkat kepalanya. "Ternyata jagain kamu dari diri aku sendiri itu lebih susah, karena yang aku lawan diri sendiri."

"Kamu mau?" Shani menyodorkan coklatnya, mengalihkan topik agar Gracia tidak terus membahas itu dan merasa bersalah.

Kekehan keluar dari bibir Shani, saat dengan polosnya Gracia memakan coklat itu di bekas gigitannya.

"Kenapa ketawa? Aku belepotan ya makannya?" Gracia mengusap bibirnya secara acak.

Tawa Shani makin meledak melihat kepolosan Gracia. "Kamu gak jijik emang? Itu kan bekas gigitan aku."

Gracia menggeleng dan menelan coklat di mulutnya. "Mana ada, kalo aku jijik mana mungkin aku suka cium kamu."

Kini giliran Gracia yang melebarkan senyumnya, wajah Shani yang putih itu membuat rona merah di pipinya terlihat jelas. "Ciee blushing, hahaha."

Shani memukul pundak Gracia pelan, seolah marah. "Aku mau pulang aja, kamu ngeselin."

"Sok atuh sana."

Baru saja Shani berdiri, dia kembali terduduk dan memegangi perutnya. "Awwhh."

"Loh kamu kenapa?" Sontak saja Gracia panik dan mendekati Shani yang memegang perutnya kesakitan.

Shani menggeleng, "Aku lagi datang bulan, ini nyerinya lagi kambuh. Sssshhh."

"Ssssshhhh aduuuhh."

"Terus aku harus gimana?" Melihat Shani yang terus merintih, membuat Gracia panik.

"Biasanya kalo lagi nyeri kamu minum apa? Kamu di gimanain kalo pas gini? Perlu aku beliin obat apa?"

Gracia terus memberondong Shani dengan pertanyaannya dengan panik. Bahkan kini dia mondar mandir di depan Shani yang menunduk memegangi perutnya, membuat Shani pusing melihatnya.

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang