Akhir

4.2K 404 24
                                    

Ya, aku hanya sadar posisiku itu seperti apa.
.
.
.

Aurel memegang roknya erat erat dan terus merapal doa dalam hati. Sesekali dia menoleh pada Gracia yang sedang menyetir seperti sedang dikejar debt collector.

"Ini tolong nyetirnya bisa biasa aja enggak?, gue belom kawin loh ini Gre." Aurel sudah beberapa kali menegur Gracia, tapi ya gitu kayak martabak. Di kacangin.

Gracia lalu menghentikan mobilnya di tepi jurang dan segera keluar. Aurel buru ikut keluar dan menarik tangan Gracia.

"Heh, lo masih muda. Jangan berpikiran pendek gitu dong, gue tau elo cemburu. Tapi ya tolonglah jangan bunuh diri, gue gak mau jadi saksinya."

Kerutan dahi Gracia nampak kala menatap Aurel. "Siapa yang mau bunuh diri?, Ngaco lo."

"Hah, terus lo mau ngapain?."

Gracia tidak menjawab dan berlalu ke mobil mengambil sesuatu. Terlihat di tangannya dua kaleng soda dia genggam. Lalu dia melempar salah satunya ke Aurel.

Rasa gatal tak Gracia hiraukan saat dia meneguk soda itu terlalu cepat. Yang terpenting adalah agar dia cepat merasa lega, walau gagal.

"Lo kenapa sih?. Cemburu ya karena Shani milih pulang bareng si Riswan."

Gracia berdecih, "Kurang kerjaan banget gue cemburu sama dia, lagian Shani pasti lebih milih gue ketimbang Riswan itu."

Aurel menyeringai, "Kepedean banget lo jadi orang, gue udah tau gimana hubungan lo sama Shani. Gue berharap Shani cepet sadar sih, kalo orang yang dia perjuangin tuh kayak tai."

"Kok lo ngatain gue sih, salah gue apa?."

"Cih, ada gitu gue nyebut nama lo tadi. Berarti lo ngerasa dong ya."

Gracia hanya menghela nafasnya dan menatap lurus kedepan, pada hamparan gedung gedung pencakar langit. "Gue hanya gak mau dia nyesel kalo sama gue."

"Ucapan lo basi ah, dia juga udah ngerti kali Gre. Dia tau apa yang dia pilih."

"Gue tau, tapi bukan gue orangnya."

Aurel berdecak. "Tau ah, capek ngomong sama lo."

Dia lalu meninggalkan Gracia dan masuk ke mobil lebih dulu.

.
..
...
....

Gracia termenung menatap laptopnya, di depannya terpampang laporan akhir tahun dari perusahaan garment yang dia kelola. Ya, seharusnya memang David yang mengelola, tapi David lebih suka mengelola perkebunan daripada perusahaan itu.

Dia mengacak acak rambutnya, menggeram tidak jelas. "Ck kenapa Shani pulangnya lama banget sih."

Gracia lalu menutup laptopnya dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. Yang ternyata sudah ada Aurel di sana.

"Ck, makanya telpon sana. Sok cuek sih daritadi, kalo kangen mah bilang aja kali."

Gracia menepak kaki Aurel yang dengan iseng menindih kakinya. "Lo aja gih sana yang telpon."

"Ogah amat, emang penting apa buat gue."

Deru suara mobil membuat Gracia seketika bangkit, membuat Aurel kaget karena gerakan Gracia yang tiba tiba. Tanpa berkata apapun lagi, Gracia segera beranjak ke balkon dan menghilang.

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang