Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Udara malam mulai terasa menusuk tulang. Embun di kaca mobil Gracia mulai terlihat, dia kemudian turun dari mobilnya hendak masuk ke rumahnya.
Baru saja tangannya membuka pintu, suara rintihan di belakangnya membuatnya menoleh. Dia menghela nafasnya, lupa kalau tadi mengajak Nadse.
Dengan kesabaran yang sengaja Gracia pupuk, Dia memapah Nadse yang mungkin kakinya sudah selentur jelly.
"Kalo aja lo gak nolong gue dulu, gak bakalan mau gue bawa lo pulang." Ucap Gracia sambil terus memapah Nadse masuk.
Sedangkan Nadse masih mencoba menetralisir rasa pusing di kepalanya, berusaha untuk tetap sadar. "Bacot sih lo."
Setelah mengunci pintu depan, Gracia masih memapah Nadse untuk dia bawa ke kamar tamu. Langkahnya seketika terhenti saat sampai di ruang tengah, Shani sedang tertegun menatapnya. Pandangan keduanya bertemu, sama sama terkejut. Hingga suara Nadse membuyarkan ke kagetan mereka.
"Tatap tatapan mulu woy, btw lo yang waktu di sekolah itu kan?" Tunjuk Nadse pada Shani.
Sedangkan Shani hanya diam saja, menatap tajam keduanya. Gracia yang menyadari itu, langsung membawa Nadse ke kamar tamu. Mendudukkannya di ranjang, dia lalu memberi Nadse sepasang piyama.
"Ganti dulu sana, gue nanti mau ngomong sesuatu sama lo." Setelah mengatakan itu, Gracia keluar dari kamar.
Dia menghampiri Shani yang masih berada di ruang tengah, duduk disampingnya dengan kikuk. Shani yang menyadari keberadaan Gracia, dia menoleh. Menatap Gracia dengan datar, sedangkan yang di tatap hanya menunduk gugup dan mulai melepas jaketnya.
"Aku cuma nolongin dia, tadi dia gak sadar pas di club." Ucap Gracia.
Masih tak ada respon dari Shani, pandangannya masih fokus ke depan.
"Dia juga gak mau dianterin pulang, jadi aku bawa dia kesini. Itu semua karena aku masih ngerasa hutang budi sama dia." Jelas Gracia.
Kali ini Shani menoleh, "Masih ngerasa hutang budi, atau masih cinta?"
Gracia menggeleng, "Aku sama dia udah selesai, please percaya ya sama aku."
"Gimana aku bisa percaya kalau kamu masih rela berkendara malem demi dia, dia yang berstatus mantan kamu." Ucap Shani dengan datar. Terima kasih karena Gracia sudah mengajarkan sebuah keberanian pada dia selama ini.
"Aku bakal selesaiin malam ini juga sama dia, aku hanya minta kepercayaan kamu oke?" Baru saja Gracia hendak berdiri, Nadse sudah duduk di sofa samping Gracia. Membuat Gracia terasa mati kutu.
Nadse menoleh menatap Shani, "Nama lo siapa?"
"Shani." Hanya kata itu yang keluar.
Gracia masih menunggu apa yang akan mereka lakukan. Apalagi kini tatapan mereka sama sama menusuk, Gracia memilih mematikan tivinya dan fokus menatap Nadse.
"Nads, kita perlu bicara." Kata Gracia.
"Ya udah ngomong aja, toh daritadi juga ngomong kan?"
"Berdua, ikut gue."
Tapi Nadse tetap bergeming di tempatnya. "Disini aja, biar Shani tau."
Shani hanya bisa menunggu apa yang akan mereka berdua lakukan, melihat lebih jelas agar tidak ada salah paham. Mungkin jika orang lain, pasti wajah Nadse sekarang sudah penuh dengan cakaran. Tapi Shani bukan orang yang seperti itu, dia harus bisa melihat dari dua sisi.
Dia melihat Gracia mengusap wajahnya kasar. Kemudian menatap Nadse serius.
"Tujuan lo kesini apa? Datang ke kota ini." Kata Gracia.