Mad at Me?

4.9K 441 66
                                        

Semenjak bersamamu, aku mulai terbiasa mengubah pengharapan menjadi sebuah pemahaman.

Marah adalah hal yang wajar dilakukan. Apalagi jika itu soal hati. Makanya hati hati dengan hati. Tapi sebenarnya, marah itu paling lama cuma 10 menit. Sisanya itu ngambek atau kecewa, mungkin.

Sejak tiga hari yang lalu, pasca penolakan Gracia dengan terang terangan. Shani sudah tidak lagi berkunjung ke rumah sakit. Bahkan kini dia sudah berada di Jakarta dan melakukan aktifitasnya seperti biasa. Katakan saja dia kekanak kanakan. Tapi ada luka tak terlihat yang harus segera dia sembuhkan.

Shani menatap buku bahasa inggrisnya tanpa minat. Tugas yang diberikan oleh gurunya harus sudah terkumpul besok. Dan masalahnya adalah ada beberapa point yang Shani tidak paham. Dulu, jika dia kesulitan seperti ini maka tanpa sungkan dia akan meminta bantuan Gracia. Apalagi Gracia sangat jago dalam mapel bahasa inggris. Tapi sekarang, rasanya hanya melihat wajah Gracia saja hatinya terasa diremas. Menangis pun sudah tak sanggup dia lakukan. Hanya memendam.

Shani berdecak, memukul kepalanya karena dengan bodohnya mengundang memori menyedihkan itu. Sebenarnya, kemarin Gracia beberapa kali menghubunginya dan mengirimkan pesan singkat. Tapi hanya dibaca saja olehnya.

Deru suara mobil samar samar terdengar dari luar. Shani berpikir, kan papanya sudah pulang daritadi. Dia lalu berdiri menuju jendelanya, menyingkap gorden dan melihat keluar. Rupanya tetangga sebelah rumahnya sudah pulang. Tau kan siapa orangnya?. Iya Gracia :)

Shani mengintip Gracia yang keluar dari pintu kemudi. Itu membuat Shani heran, jadi Gracia dari Bandung nyetir sendiri?. Dengan kondisi dia yang baru saja pulih?.

Dan seolah tersadar kembali, Shani segera menutup gordennya dan mendengus. Ngapain juga dia harus peduli Gracia nyetir dari Bandung, meskipun baru pulih. Toh saat masih sakit pun, Gracia lebih bisa menyakiti hatinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Shani.

Bugh

"Awh, Ssshhh"

Shani tersentak, dia menoleh horror ke arah jendela, yang disebelahmya terdapat pintu menuju balkon. Dia tidak salah dengar kan? Barusan dia dengar suara seorang merintih.

Tok tok tok

Shani dengan perlahan menuju pintu balkon dengan mengendap, duuuhh ini masih jam segini udah horror aja.

Sret

Dengan sekali gerakan, Shani menyingkap gorden pintu dan nampaklah sesosok dengan rambut panjang dan mata yang tajam. Shani menahan nafasnya, tapi saat sosok itu mendekatkan wajahnya ke pintu kaca, barulah dia melihat dengan jelas sesosok atau seseorang itu.

Harusnya Shani sudah hapal kan siapa yang suka maen lompat ek balkonnya. Ya harusnya dia tahu.

"Shani, bukain pintunya." Kata Gracia dari luar. Suaranya terdengar pelan karena pintu masih tertutup.

Shani hanya diam dan bersedekap dada. Memperhatikan Gracia yang memasang wajah memelasnya.

"Shani, aku minta maaf. Aku bisa jelasin semuanya, keluar dulu yuk sini."

Shani yang tak bergeming dari tempatnya, membuat Gracia menghela nafas pasrah. Tangan kiri Gracia yang memegang perutnya mengalihkan perhatian Shani.

'Ck, jadi orang kok bandel banget sih'

Dengan malas Shani akhirnya membuka pintu dan keluar. Membuat senyum terbit dari wajah Gracia. "Cepetan ngomong, aku masih ada tugas." Ujar Shani datar.

Karena Shani membelakanginya, Gracia memeluknya dari belakang. Menghirup aroma Shani yang selalu jadi kesukaannya. Tapi Shani melepaskannya dan berbalik, menatap Gracia dengan tajam. "Jangan sentuh aku."

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang