"Jika kau ingin jadi lemah hanya untuk mendapati disekitarmu mendekat dan menguatkanmu? Coba rasakan jadi aku!"
-Shindu Wijaya-***
Shindu memandangi kursi kosong di sebelahnya dalam bisu. Seharusnya kursi itu milik Riskyan, sepupunya yang jauh-jauh hari sudah berjanji akan menemani Shindu kembali ke Indonesia. Namun, kenyataan berkata lain.
Tanggung jawab pada pekerjaan menuntut Risky untuk mengikari janji itu. Shindu sempat berpikir jika Rama ikut campur tangan di balik gagalnya kepergian Risky. Mengingat jabatan Risky dalam perusahaan yang bertanggung jawab langsung pada Rama. Mungkin Rama pikir, Shindu akan mengurungkan kepergiannya jika itu tanpa Risky.
Perkiraan Rama salah, tekad Shindu tidak sedangkal yang Rama pikirkan.
Kemauan itu menguatkan Shindu dalam kondisi fisiknya yang lemah, juga dalam kesendiriannya sekarang. Tanpa kedua orang tua, pun saudara.
"Mom, Dad, if you won't do this. So i have to."
Shindu berujar lirih pada layar ponselnya, ada gambar Rama dan Shintia di sana.
***
Perjalanan Singapura - Solo cukup melelahkan. Durasi terbangnya memang sebentar, tapi bagian yang paling melelahkan adalah ketika Shindu diharuskan transit di Jakarta lebih dahulu.
Shindu berangkat dari Changi Intl pada tengah hari dan baru sampai di Adi Soemarmo jam enam sore.
Rasanya Shindu mau pingsan.
Punggungnya pegal, kepalanya berdenyut menyakitkan.
Apalagi bekas operasinya yang kembali terasa nyeri.
Shindu bersandar pada kursi plastik keras yang berjejer di bagian depan bandara.
Mata Shindu terpejam, tidak peduli pada sopir taksi yang menawarkan tiket padanya juga pada ponsel yang terus-terusan bergetar di kantong celana cargo pendek warna hitamnya.
Shindu tahu pasti siapa di ujung panggilan telpon. Selain Shintia, Rama, dan Ryzkian, ada satu lagi orang yang tahu jadwal kedatangannya.
Dr. Pukas Sihman Jaya, Sp. JP, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Berkat beasiswa penuh dari Eyang Shindu, dua bulan lalu Pukas berhasil menggemakan janji dokternya.
"Uncle Cas... please stop calling me... i'm fine and i'll be superfine if you just stop being anoying."
Begitulah Shindu memanggil Pukas. Sejak eyang mengangkat Pukas sebagai anak, hubungannya dengan Shindu sudah seperti om dan keponakan.
Pukas sering berkunjung ke Singapura, dia tidak pernah absen untuk menanyakan kabar Shindu. Entah melalui panggilan telpon atau sekedar bertukar pesan.
Shindu jugalah alasan Pukas mengambil spesialis jantung dan pembuluh darah.
Pukas sangat menyayangi Shindu, Shintia pun tahu. Jadi ketika Shindu memutuskan untuk pulang ke Indonesia tidak ada yang perlu dia khawatirkan.
Karena ada Pukas yang akan menjaga Shindu.
***
"Brother Shindu, sorry late, lets go home."
Begitu Shindu mengakhiri obrolannya dengan Pukas, ada bapak-bapak berahang tegas dengan kulitnya yang hitam menyapa Shindu.
Bapak-bapak itu Joko, sopir yang selama ini bekerja pada almarhum eyang Shindu.
Tepatnya tiga tahun sejak terakhir kali Shindu bertemu dengan Joko. Saat Shindu pulang ke Indonesia ketika eyang kakungnya wafat.
Tidak banyak yang berubah dari Joko, kulit hitamnya yang mengkilat masih sama seperti tiga tahun lalu, masih kencang dengan tonjolan otot yang kentara.
Hanya satu yang berubah, Joko sekarang pintar berbahasa inggris. Itu hasil dari salah satu usaha kerasnya belajar bahasa inggris dari Putri --anak sulungnya--begitu tahu Shindu akan pulang ke Indonesia.
Joko pikir Shindu tidak bisa berbahasa indonesia, karena tiga tahun lalu Shindu lebih banyak diam dan tiduran di kamar.
Shindu tersenyum lucu, Joko dan bahasa inggris ternyata bisa jadi hiburan cuma-cuma.
"OK, Mr. Joko... lets go home...."
Dengan kemeja batiknya, Joko sedikit membungkuk hormat dan membukakan pintu belakang untuk Shindu.
Shindu memang sudah sangat lelah, sekujur tubuhnya sakit.
Sorot lampu kendaran di malam hari juga membuat kepala Shindu semakin sakit.Jadi dia memilih mengenakan kaca mata hitamnya dan coba untuk tidur.
"Brother Shindu, hungry?"
Di tengah usaha Shindu untuk istirahat, Joko kembali membuatnya tersenyum.
"Thanks, but no thanks Mr. Joko. I'm fine."
"Ok brother Shindu."
Shindu tidak bisa lagi menahan tawanya, dia terkikik geli mendengar panggilan Joko untuknya.
Mungkin maksud Joko, brother Shindu adalah bahasa inggris untuk Mas Shindu.
"Aduh, ketawa itu inggrisnya apa ya. Lupa nanya sama si Putri. Ini kok brother Shindu ketawa tu apa ada yang lucu?"
Shindu terpingkal, wajah bingung Joko yang terpantul dari spion tengah tidak kalah lucunya.
***
Sepertinya Shindu salah.
Mungkin keputusannya untuk kembali ke Indonesia adalah pilihan yang tepat.
Semula, Shindu pikir hari-harinya di Indonesia akan berat tanpa Shintia di sampingnya.
Namun, Joko bisa membuatnya tertawa. Belum lagi Siti--istri Joko--yang kata Shintia jago sekali memasak. Juga anak-anak mereka.
Dan jangan lupakan Pukas yang cerewet.
Shindu yakin, dia bisa bertahan.
Shindu pasti sanggup menemukan apa yang jadi tujuannya.
"Solo, here i am. Please help me to find him."
24.09.18
Habi🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...