"Jangan lupa, ajak aku! Untuk merawat bahagia kita."
--Shindu Wijaya--
***
"Pandu, Shindu, its breakfast time."
Pandu keluar dari kamar Shindu dua menit kemudian. Matanya masih lengket, dan bahunya pegal-pegal. Semalaman Shindu mengajaknya mengobrolkan banyak hal.
Tentang sepatu, teman-temannya, Burhan, Pak Teguh, dan banyak lagi lainnya. Shindu juga menanyakan banyak hal tentang Pandu, dan mau tidak mau Pandu harus tetap terjaga untuk menjawabnya.
"Masih ngantuk, Sayang?"
Shintia yang masih sibuk memotong melon untuk sarapan Shindu tersenyum kecil, kemudian menyodorkan sepiring nasi goreng ke hadapan Pandu.
Pandu hanya mengangguk kecil, dia mengambil gelas air putih kemudian meneguknya hingga habis.
Sudah tiga hari ini Pandu tinggal di rumah eyang bersama Shintia dan Shindu. Awalnya dia menolak, tapi setelah Shindu memberinya pilihan konyol yang tidak masuk akal seperti ... "Mas Pandu tinggal di sini, atau Shindu yang nginep di kost Mas Pandu?" Pandu pun menyerah, memilih untuk mengalah.
Selama Pandu tinggal di rumah eyang, dia sekamar dengan Shindu. Alasannya hanya satu, Shindu yang menginginkannya. Padahal masih ada dua kamar kosong yang masih bisa Pandu gunakan. Kata Shindu kedua kamar itu tidak cocok untuk Pandu, warna catnya membosankan, perabotnya ketinggalan zaman, dan banyak lagi alasan yang Shindu utarakan.
Karena itu hari berikutnya, Shintia yang turun tangan dengan merenovasi kamar yang dulu digunakan untuk Eyang. Barulah Shindu mengizinkan Pandu untuk menempati kamar barunya sendiri. Nanti, tentunya setelah renovasinya selesai.
"Shindu mana, Bu?"
"Di belakang liatin Pak Jaka bersihin kandang burung."
"Udah rapi dia, Bu? Udah tahu paginya mau sekolah, malemnya ngajak ngobrol trus."
Shintia tersenyum geli mendengar celotehan Pandu tentang adiknya. Tangannya terulur merapikan rambut Pandu yang masih berantakan.
"Tolong panggilin dong, Sayang. Ajak sarapan bareng!"
Pandu beranjak, dia melangkah sambil sesekali merapikan rambutnya. Dari pintu belakang, Shindu yang bersila di lantai sudah tertangkap penglihatannya. Di sebelah Shindu ada Jaka yang sibuk membersihkan kandang burung, yang terlihat sesekali tersenyum geli.
Entah apa yang mereka perbincangkan. Pandu tidak mendekat, dia berdiri di ambang pintu sambil diam-diam mengamati Shindu yang tersenyum. Nampak begitu bahagia. Mata sipit anak itu melengkung manis, dan sebagian hampir tertutup oleh poni coklatnya.
"Shin, sarapan dulu!"
Shindu bangkit, dia menoleh pada Pandu dengan senyum mengembang. Pandu bisa melihat, saat anak itu membungkuk, berpamitan sopan pada Jaka, kemudian melangkah menghampiri Pandu.
"Eh, Mas Pandu yang rajin bangun pagi udah bangun .... "
Pandu mendengkus sebal, merasa tersindir. Padahal anak itulah yang membuatnya bangun kesiangan. Bisa-bisanya Shindu mengejeknya sekarang.
"Berangkat sekolah sendiri ya!"
"Lhoh gak bisa, Mas kan udah janji semalem mau anter Shindu sekolah hari ini."
Pandu merangkul pundak Shindu, sedikit kuat hingga anak itu terbungkuk-bungkuk. Jadilah tinggi mereka sejajar sekarang, dengan tangan kirinya Pandu bisa mengacak-acak rambut Shindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...