28. Menangis Saja Yang Keras!

3.1K 395 134
                                    

"Jangan coba pahami Ibu lain, cukup pahami Ibu kalian, kemudian hadapi saat kalian nanti jadi Ibu. Kalian yang pernah berpikir dangkal tentang Ibu lain di luar sana, pasti malu dibuatnya."

--Habi si Gajah--

***

"Nanti sore Mommy sampai Solo, Mas."

Pandu berhenti mengupas mangganya. Dia mendongak, melihat pada Shindu yang mengunyah sarapannya dengan malas. Anak itu berujar begitu santainya seolah apa yg dia lontarkan bukan masalah yang besar.

Mungkin benar, bukan perkara yang besar bagi Shindu. Tetapi untuk Pandu, kedatangan ibunya bisa jadi kejutan besar. Pandu memang ingin bertemu dengan ibunya. Dia juga sudah menyiapkan hatinya untuk momen itu. Tapi tidak di saat keadaan Shindu seperti ini.

"Mangganya masih lama, Mas?"

Mata kecil Shindu melihat pada kupasan mangga Pandu dengan penasaran. Berharap dia bisa segera sarapan bubur dengan topping mangga dan madu, kesukaannya. Tapi saat melihat mangga di tangan Pandu yang tidak jelas bentuknya, Shindu mendadak kehilangan nafsu makannya.

Shindu menekuk wajah, kemudian mendorong pelan meja makannya. Sedangkan Pandu masih diam melamun, bahkan dia tidak sadar saat Shindu bergerak untuk mengambil ponselnya dari atas lemari kecil di sebelah brankar.

"Hallo, Mom."

Pandu terlonjak kaget, dia memutar kepalanya cepat ke arah pintu kamar. Dan tidak menemukan siapa-siapa di sana. Kemudian Pandu dengar suara tawa Shindu yang terkikik kecil di belakangnya.

"Mommy masih di Singapur, Mas."

Mata Pandu membola, kaget. Ternyata Shindu bicara dengan Shintia melalui telpon. Dia juga membawa-bawa Pandu dalam obrolan mereka. Shindu ternyata benar-benar menyebalkan.

"Mom, Shin dipelototi Mas Pandu nih."

Rasanya Pandu ingin sekali membungkam mulut Shindu dengan mangga di tangannya. Anak itu tidak tahu saja, bagaimana jantung Pandu yang berdebar begitu kencang saat ini.

"Kayaknya Mas Pandu gak sabar banget buat ketemu Mommy nanti sore, ini aja kerjaannya ngelamun terus Mom. Grogi."

Shindu kembali tertawa ringan dalam obrolannya dengan Shintia. Sesekali dia melirik pada Pandu yang mulai bergerak gelisah tidak nyaman. Pandu memotong sisa mangga kupasannya dan meletakannya di atas bubur Shindu.

Ternyata rasanya tidak nyaman mendengar obrolan Shindu dengan Shintia. Mungkin karena dirinya yang sudah terlalu lama tidak berhubungan dengan Shintia. Membuatnya canggung, dan tidak tahu kata mana yang pantas untuk diucapkan pertama kali saat mereka bertemu kembali nanti.

Pandu pun memilih keluar dari kamar Shindu.

"Mas keluar dulu, Shin. Buburnya jangan lupa dimakan!"

Namun, langkahnya tertahan oleh Shindu yang memanggilnya dengan suara lemah dan sedikit terengah.

"Mas, bisa tolong ngobrol sama Mommy dulu? Shin capek."

Ingin menolak, tapi Pandu tahu pasti Shindu sengaja melakukannya. Buktinya anak itu sekarang melihat ke arahnya dengan senyum kecil menyebalkan. Matanya dibuat sedih, setengah memohon dengan bibir tipis pucatnya. 

Pandu pun akhirnya menerima uluran ponsel Shindu, dia mendengkus sebal kemudian berlalu setelah sebelumnya mengingatkan Shindu tentang sarapannya.

"Habisin buburnya!"

"Mangganya aja ya, Mas."

"Semuanya!"

Shindu berdecak sebal, walau akhirnya dia tersenyum, memandangi punggung lebar Pandu yang menghilang di balik pintu.

Rasanya benar-benar seperti mimpi. Shindu mendapatkan Pandu kembali sebagai kakaknya. Bahkan selama tiga hari Shindu dirawat, Pandu tidak meninggalkannya sama sekali.

Kuliahnya tengah libur semester, dan berbagai rapat UKM dia serahkan pada sang wakil. Kata Pandu, Shindu adalah tanggung jawabnya mulai sekarang. Bukan tanggung jawab Pukas, apalagi Siti dan Jaka.

Shindu senang bukan main. Dia yang biasanya begitu mandiri ketika di rumah sakit, kali ini memanfaatkan keberadaan Pandu yang setia menunggunya. Merengek pada banyak hal, sebentar-sebentar mengeluh tentang tangannya yang perih, dadanya yang sesak, dan banyak lain.

Shindu jadi tersenyum sendiri jika mengingat kebersamaannya tiga hari ini bersama Pandu.

Dalam hati bertanya-tanya, kenapa sakit bisa semenyenangkan ini?

Hingga tanpa Shindu sadari, dia sudah menghabiskan potongan mangganya. Sedangkan bubur di bawahnya tidak berkurang sama sekali.

Pandu pasti akan memarahinya nanti. Jadi Shindu putuskan untuk mendorong meja makannya menjauh, mengenakan kembali masker oksigennya, dan bersandar pada brankar berharap bisa segera tertidur. Dengan begitu, dia bisa terbebas dari omelan Pandu.

***

"Halo, Bu."

Dari ujung sambungan Pandu masih belum mendengar suara sang ibu. Yang dia dengar hanya suara isak tangis.

Pandu yang selama ini Shintia tinggalkan, anak yang selama ini tidak merasakan kasih sayangnya. Dan sekarang, dengan ringan memanggilnya ibu kembali.

Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Seakan-akan hubungan mereka baik-baik saja. Bagaimana bisa, Shintia menahan tangisnya?

"Maaf, nak. Maafin ibu."

Suara Shintia bergetar tidak jelas. Bukan karena sinyal yang buruk, tapi memang karena Shintia berujar di tengah tangisnya.

"Jangan minta maaf, Bu. Jangan. Ibu tidak pernah salah."

Pandu mengatakan yang sesungguhnya. Selama ini dia tidak pernah menyalahkan Shintia. Amarahnya dia lampiaskan pada Shindu, yang dia pikir menjadi satu-satunya alasan Shintia meninggalkan Pandu.

Bagaimana pun juga, Shintia adalah ibu kandungnya. Shintia yang mempertaruhkan nyawa untuk mengandung dan melahirkannya ke dunia ini. Atas dasar apa Pandu berani menyalahkan apalagi membenci Shintia?

Pandu kembali mendengar Shintia menangis, semakin keras. Tanpa sadar, air mata Pandu menetes. Menemani sang ibu dengan menangis bersamanya. Meluapkan kerinduan yang hampir tidak bisa Pandu tahan.

"Aku rindu Ibu."

Air mata Pandu tidak bisa lagi ditahan, dia semakin tergugu dan kesulitan hanya untuk mengungkapkan rasa rindunya.

Pandu hanya ingin memanggil Shintia dengan sebutan ibu sebanyak yang dia bisa. Namun harus tertahan oleh sesenggukan yang terdengar menyakitkan.

"Bu, tolong jangan katakan apapun saat kita bertemu nanti. Ibu hanya harus tersenyum, dan memberiku pelukan, Bu. Itu saja."

Pandu menangis semakin keras saat Shintia menjawab permintaanya hanya dengan suara tangis.

Pandu tidak peduli akan prasangka orang yang melihatnya. Lagipula, dia tengah duduk sendirian di depan kamar rawat Shindu yang sepi.

Pandu tidak tahu saja, jika dari balik pintu ada seseorang yang menyaksikan derai air matanya. Ada Shindu yang mendengar semua luapan rindu Pandu pada sang ibu. Ada Shindu yang ikut menangis bahagia di sana.

Tadi, Shindu yang sudah bersiap tidur mendadak mengurungkan niatnya begitu mendengar pilunya tangisan Pandu. Dia turun dari brankar, dan berjalan perlahan ke pintu kamarnya.

Melalui celah sempit pintu, Shindu bisa merasakan lapangnya hati Pandu. Bagaimana Pandu dengan mudahnya memaafkan Shintia juga dirinya yang telah lama pergi meninggalkan Pandu.

Selama ini, Shintia memang tidak pernah memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu. Dia tidak membagi kasih sayangnya untuk Pandu.

Namun, benar apa yang dikatakan Pandu. Shintia adalah ibu kandungnya, sejauh apapun Shintia ingkar dari kewajibannya, masih belum mampu mengimbangi banyaknya hutang Pandu sebagai seorang anak.

Dan Shindu mengerti itu, tidak ada satu pun anak yang sanggup membalas jasa seorang ibu.

Shindu akhirnya memiliki sebuah kebanggaan dalam hidupnya. Sesuatu yang bisa dia banggakan nanti saat menghadap Tuhan.

"Solo, Shin hampir berhasil."

02.01.19
Habi🐘

Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang