"Mungkin benar, hatiku tidak pernah siap untuk kehilangan. Karena lebih dari setengah hidupku, aku menyiapkannya untuk meninggalkan."
--Shindu Wijaya--
***
"Kamu yakin gak mau makan, Shin?"
Siang itu, setelah pingsannya Shindu di sekolah, Evita membawanya pulang ke apartemen.
Evita tidak ada pilihan lain. Walau Shindu dengan setengah sadar terus menggumamkan penolakan, tapi dia tidak tega jika harus meninggalkan Shindu di rumah sendirian dalam keadaan yang mengkhawatirkan.
Tidak ada Siti yang biasa menjaga Shindu. Dia sedang pulang ke Purwodadi, kampung halamannya. Tadi, setelah Jaka pulang dari mengantar Shindu sekolah, mereka mendapat kabar jika ibu dari Siti tengah sakit keras.
Jadi untuk beberapa hari ke depan Siti harus meninggalkan tanggung jawabnya mengurus keperluan Shindu. Benar, masih ada Jaka juga Putri yang kapan saja siap dimintai bantuan. Namun, tetap saja beda rasanya jika tidak ada Siti.
Oleh karena itu, Pukas dan Evita berinisiatif membawa Shindu untuk tinggal sementara dengan mereka.
Tanpa persetujuan Shindu.
Anak itu kesal tentu saja, dia masih menekuk wajah dan menolak makan malamnya. Menyibukan diri dengan cangkir susunya, bahkan Shindu enggan untuk menjawab pertanyaan Evita.
"Aunty, please drive me home. I'm fine, and promise you i'll be fine."
Untuk kesekian kalinya, Shindu kembali merengek. Dia hanya ingin pulang, itu saja. Shindu tidak terbiasa tinggal di apartemen, dan dia yakin tidak akan bisa tidur nyenyak nanti malam.
Evita yang sedang membereskan dapur, membuang napasnya kasar. Dia tahu Shindu keras kepala, tapi dia belum tahu jika anak yang selalu terlihat tenang itu bisa begitu menyebalkan.
"Keputusannya ada di om kamu Shin, kamu tidur di sinilah semalam. Biar besok pagi om yang antar kamu pulang."
Shindu yang semula duduk tenang di balik meja dapur, berdiri tergesa mengambil ponselnya. Dia tersenyum kecil sambil mengetik sesuatu di kolom pesan. Jika keputusan ada di tangan Pukas, maka Shindu bisa dengan mudah mengatasinya.
Senyum Shindu semakin lebar saat dia yakin Pukas akan menuruti permintaanya saat ini. Jika itu urusannya dengan Evita, Shindu punya kendali penuh atas pukas. Dan dia tersenyum puas karenanya.
Kemudian senyum itu perlahan pudar ketika Shindu beralih pada pemberitahuan yang belum sempat dia baca. Ada beberapa pesan dan dua panggilan tidak terjawab dari Shintia.
Dua di antara pesannya menanyakan kabar Shindu, satu lainnya adalah permintaan maaf karena Shintia terlalu sibuk untuk membalas pesan Shindu tadi pagi. Itu saja, dan entah kenapa Shindu hanya ingin membacanya tanpa mau membalas atau menghubungi Shintia kembali.
Detik berikutnya, telpon rumah Evita berdering. Shindu cukup yakin jika Pukas-lah yang menelpon.
Mata kecil Shindu melihat ke arah Evita penasaran. Raut wajah tantenya terlihat kaget, kemudian mengangguk kecil tanda mengerti.
"Iya iya, Mas. Udah ya, Assalamu'alaikum."
Evita mengakhiri panggilan telponnya kemudian melihat pada Shindu penasaran. Sedangkan Shindu malah mengalihkan perhatian. Dia pura-pura menyibukan diri dengan permain di ponselnya.
"Ayo, Tante antar pulang."
"Am i have his permission?" tanya Shindu seolah-olah dia tidak tahu-menahu soal Pukas yang mengizinkannya pulang. Dia merapikan tasnya, mengenakan jaket kemudian mengikuti Evita yang sudah siap dengan kunci mobil di tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Historia CortaSolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...