16. Datanglah, Mbak Ojol Galak

2.9K 345 36
                                    

"Bukan tentang apa yang aku suka, tapi kenapa aku bisa suka."

--Shindu Wijaya--

***

Seminggu berlalu sejak terakhir kalinya Shindu tidak berhasil meyakinkan Pukas, bahwa dirinya suduh cukup siap untuk keluar dari rumah sakit. Shindu harus merelakan dirinya dipenjara dalam ruang rawat inap selama yang Pukas inginkan.

Salahnya yang bersikeras tanpa alasan yang tepat. Di hari saat Shindu merengek pada Evita untuk pulang, Pukas datang dengan wajah lelahnya. Dia berdiri di ambang pintu kamar Shindu. Menatap Shindu kesal, sambil berkacak pinggang.

"Kamu mau pulang?"

Shindu mengangguk kaku. Sadar, sepertinya dia merengek di saat yang tidak tepat.

"Bangun! Coba berdiri sendiri, trus jalan ke sini! Kalau kamu bisa selangkah saja keluar dari kamar kamu, Om kasih kamu pulang."

Tidak ada masalah saat Shindu mencoba untuk bangun dari sandarannya dan duduk dengan tegak. Shindu merasa cukup percaya diri setelahnya. Dia tersenyum kecil, kemudian perlahan menggeser kakinya.

Shindu yakin dia bisa melakukannya. Sampai kedua telapak kakinya menginjak lantai, ragu tiba-tiba menghampirinya. Kedua kaki Shindu lemas luar biasa. Lututnya bergetar hebat, sangsi jika keduanya mampu menahan berat tubuh Shindu lebih lama lagi. Apalagi berjalan.

Belum lagi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit berkunang-kunang. Shindu berpegangan erat pada tiang infusnya. Meringis tertahan hingga dia kelepasan menghela napas dengan kasar.

"Argh ... hah ... hah ...."

"Sok-sokan mau pulang, berdiri aja gak kuat."

Sial. Shindu mulai kewalahan. Belum selangkah dan rasanya dia harus menyerah. Dia enggan peduli pada ejekan sarkas Pukas, apalagi tatapan khawatir Evita.

Tangan kanannya coba meraih ujung brankarnya. Namun Pukas lebih dulu meraihnya. Menggenggamnya erat untuk kemudian menuntun Shindu menaiki brankar.

"Masih mau pulang dan berakhir seperti drama?"

Pukas mengambil selembar tissue dan mengangsurkannya pada Shindu. Dengan dagunya dia menunjuk pada wajah anak itu yang kembali pucat dan dibanjiri keringat.

Tanpa dijawab pun Pukas pasti tahu, maka Shindu lebih memilih merebahkan tubuhnya. Dengan poni coklatnya yang masih setengah basah, dia beringsut kecil memunggungi Pukas.

Merutuki betapa lemah dirinya di saat-saat seperti ini. Betapa tidak berdaya tubuhnya, saat sakit itu kembali menghampiri.

Dan yang lebih menyedihkan bagi Shindu adalah bagian dimana dia tidak pernah bisa mengukur kemampuannya. Merengek seperti bayi. Kemudian berakhir merepotkan orang lain.

Seperti saat ini.

Pukas yang lelah dengan tanggung jawabnya yang lain. Juga Evita yang rela mengorbankan hari libur untuk merawat Shindu padahal dirinya tengah hamil.

Shindu merutuki kebodohannya sendiri.

Bahkan setelah seminggu berlalu. Bayang-bayang dirinya yang tidak tahu diri terus menghantui.

Hingga hari yang dijanjikan Pukas datang. Kemarin sore, Pukas bilang kondisi Shindu sudah lebih baik dan bisa dipastikan hari ini adalah hari kepulangannya.

Shindu tidak akan menuntut apa pun hari ini. Dia hanya akan menagih janji Pukas dengan senyum manis. Tanpa rengekan bayi seperti biasanya.

Masih pukul enam pagi ketika Shindu melirik jam dinding yang menggantung tepat di atas Pukas tertidur. Dia berniat untuk membangunkan Pukas. Jika dia pulang lebih pagi mungkin dia bisa langsung pergi ke sekolah hari itu juga. Begitu pikirnya.

Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang