"Sampai detik ini, kami tidak bisa temukan kalimat yang pas. Kecuali yang satu ini, jangan belajar dari quotes! Belajarlah dari hidup!"
--Shindu-Habi🐘--
***
"Tapi Mas masih punya simbah, Shin."
Pandu menyampaikannya dengan mata sendu. Shindu bisa melihatnya, mata Pandu mengarah padanya takut-takut. Penuh kebimbangan. Seolah tidak ingin lagi melukai Shindu.
Dan Shindu tidak bodoh untuk menangkap gelagat Pandu. Pandu mengakui semuanya, dia menerima Shindu, tapi sekaligus mengutarakan penolakannya.
Tidak tanggung-tanggung. Simbah lah alasan Pandu. Dan Shindu tidak punya daya apapun lagi.
"Simbah yang memisahkan Mas dengan ibu juga kamu, Mas tahu Shin. Tapi simbah juga sudah membesarkan Mas dengan baik. Memberikan kasih sayangnya saat Mas tidak pernah dapat kasih sayang dari ibu. Menjaga dan mendidik Mas dengan sepenuh hati."
Cukup, Shindu benar-benar tidak mampu mendengarnya lagi. Dia tahu, Pandu punya segudang alasan untuk tidak meninggalkan kakeknya. Namun, tidak bisakah Pandu menemukan satu alasan saja untuk kembali bersamanya dan ibu?
"Setelah ayah Mas meninggal karena kecelakaan itu, dan ibu memutuskan untuk menikah dengan ayah kamu, hanya Mas satu-satunya yang simbah miliki, Shin."
Pandu berhenti bicara, mungkin karena melihat tangan Shindu yang bergetar di atas meja. Tangan itu menggenggam gelas tehnya tanpa daya, tumpah bercecer dan membasahi meja.
Dengan sigap, Pandu merebut gelas Shindu. Dia menggenggam erat tangan Shindu yang dingin, dan terus gemetar. Sepertinya Pandu mulai khawatir, dan Shindu menginginkannya. Shindu ingin Pandu melihat bagaimana jadinya Shindu, jika Pandu kembali menolaknya.
"Shin, kamu gak papa, kan?"
Shindu menggeleng. Bagaimana bisa dia baik-baik saja setelah mendengar itu semua. Dari awal pembicaraan mereka, Pandu menerbangkannya terlalu tinggi. Kemudian menjatuhkannya begitu saja.
"Shin gak pernah minta Mas buat ninggalin simbah!"
Shindu menyerukannya dengan bibir bergetar. Raut wajah Shindu yang sedari pagi merah kini kembali memucat, bibirnya membiru, dan sekujur tubuhnya lemas tidak bertenaga.
Shindu ingin Pandu melihatnya.
Jika Shindu tidak bisa membawa Pandu kembali dengan usahanya. Dia bisa menahan Pandu dengan alasan picik itu, bahwa dia sakit, dia lemah, dan sangat membutuhkan Pandu.
"Maaf Shin, tapi Mas juga enggak bisa kalau harus terus-terusan bohong sama simbah."
Shindu tidak bermaksud merebut Pandu dari simbah. Sekali pun, tidak pernah. Alih-alih menyebutkan semua alasan yang menyakiti mereka berdua, kenapa Pandu tidak meminta Shindu untuk berjuang bersamanya?
Berjuang untuk mendapatkan izin dari simbah, membujuk simbah untuk sedikit saja membuka hatinya. Lagipula keadaan keluarga Shindu tidak lagi seperti dulu. Shintia sudah berpisah dengan Rama, dan tidak ada lagi alasan bagi Shintia untuk menetap di Singapura. Kecuali beberapa bisnisnya, itu pun Shintia sudah memiliki orang yang dia percaya.
Shindu benar-benar tidak mengerti Pandu.
"Kalau begitu, Shin bisa jelasin semuanya ke simbah. Ayo Mas, antar Shin ke rumah simbah!"Shindu berdiri tiba-tiba, bangku panjang di belakangnya terdorong kasar. Tubuhnya terhuyung lemas walau sudah berpegang erat pada lengan Pandu.
Ini bukan saatnya jatuh, bukan waktunya menjadi lemah. Shindu sadar betul, tapi lagi-lagi tubuhnya tidak mampu mengimbangi tekatnya.
Kepalanya berdenyut menyakitkan dengan pandangan mata yang mulai tidak fokus. Saat Pandu melepaskan genggamannya hanya untuk membayar makan siang mereka, Shindu nekat berjalan seorang diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...