"Menyerah itu bukan perkara yang mudah, kenapa masih saja dipandang rendah?"
-Shindu Wijaya-***
Dua hari berlalu. Dua hari telah terenggut sia-sia dari Shindu. Oleh rasa bersalah yang sebelumnya sebesar biji, kini melumut melapukan hati.
Sejak malam itu, hanya dengan satu alasan kecil Shindu berhasil menyeret dirinya sendiri ke dalam rasa yang mengerikan. Menjalar ke mana-mana, merambat ke setiap sela tersempit di hatinya.
Jika... hanya jika Pandu tidak harus kehilangan ayahnya.
Jika Shintia tidak pergi dari kehidupan Pandu hanya demi Shindu.
Iya, demi Shindu, semua karena dirinya.
Shindu memaksa dirinya sendiri merasakan apa yang Pandu pernah alami. Memojokan dirinya sendiri untuk coba menempati posisi Pandu.
Pandu yang yatim sejak umur dua tahun.
Pandu yang melihat ibunya menikah dengan laki-laki lain, kemudian pergi meninggalkannya.
Pandu yang menjalani masa kanak-kanak hingga remaja tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Semua kesedihan yang hadir dalam setiap langkah Pandu ternyata bersumber dari Shindu. Shindu mengakuinya, pantas jika Pandu ingin sekali melupakan Shindu. Karena dengan mengingat Shindu sama dengan mempertahankan ingatan-ingatan kelamnya.
Air mata Shindu menetes.
Mata bengkaknya semakin merah. Memandang kosong ke depan. Entah pada apa, permukaan air kolam tidak lagi menarik untuk Shindu, kicauan Jalak almarhum eyang juga tidak mampu mengusiknya.
Shindu terbenam dalam kesedihan. Ingin menyerah rasanya. Dia ragu bisa menghadapi Pandu untuk ke dua kalinya. Dia gentar untuk berhadapan dengan Pandu dan menyerukan permohonan maafnya.
Bukankah menyerah akan lebih mudah untuk dijalani daripada harus berjuang tanpa tentu hasilnya?
"Good morning Mas Shindu," salam Pak Joko, dan lamunan Shindu pun pecah.
Joko datang melalui pintu samping, dia berjalan melewati Shindu dengan membawa dua buah ember menuju pada kandang Jalak eyang di tepi kolam.
"Sugeng enjang Pak Joko," jawab Shindu dengan tersenyum tipis. Dia perhatikan Pak Joko yang mulai membersihkan kandang burung. Kemudian Shindu berjalan mendekat, dan duduk bersila di sebelah Joko.
"Mas Shindu sudah sehat?"
"Lumayan, Pak."
"Pantes kok pagi-pagi sudah duduk di luar, biasanya masih tidur."
Shindu kembali tersenyum. Memang selama dua hari ini dia tidak keluar kamar. Pantas jika Joko berkata demikian.
"Maaf, Pak. Shindu bikin khawatir ya?"
"Gak pa pa, Mas, yang penting Mas Shindu sudah sehat. Bapak tu khawatirnya sama si Burhan, Mas." Joko mulai bercerita, tangan kanannya sibuk membersihkan tempat makan burung dan mengisinya sampai penuh.
"Burhan siapa Pak?"
"Adeknya Putri, Mas. Sudah kelas enam gak pernah belajar, gaweane nabuh aja Mas."
Shindu mulai bisa tertawa lebar. Walau dia tidak tahu apa itu gaweane dan nabuh, tapi cara bicara Joko selalu berhasil membuatnya tertawa.
"Ajak ke sini aja Pak, nanti biar Shindu yang bantu belajar."
"Gak pa pa Mas? Mboten ngrepoti Mas Shindu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...