10. Luapkan! Jangan ditahan!

3.4K 426 38
                                    

"Apa karena ibu adalah ibu kita, tapi hanya aku yang memilikinya?"
-Shindu Wijaya-

***

Dengkuran halus Pukas mengusik tidur Shindu. Dia terbangun di tengah malam. Saat dinginnya Solo mulai merangkak masuk ke kamarnya.

Shindu bangkit dan melihat Pukas tidur sekenanya, di atas sofa kecil di sudut kamarnya. Kakinya yang panjang tertekuk tidak nyaman. Shindu tahu, Pukas semalaman menjaganya. Meninggalkan Evita yang tengah hamil muda sendirian di rumah.

Demi Shindu, demi dirinya yang tiba-tiba demam tanpa alasan sore itu.

Shindu menghembuskan napasnya pelan, tenggorokannya masih sakit dan perutnya terasa tidak nyaman. Dia duduk di tepi ranjang dan meneguk air putihnya susah payah.

Wajah marah Pandu siang itu terus terbayang di ingatannya. Hingga sekarang Shindu belum menemukan alasan di balik kemarahan Pandu. Juga alasan lain yang membuat Pandu dengan mudahnya melupakan Shindu.

"Hah...."

Shindu terengah, rasa sakit di kepalanya kembali dan lagi-lagi mual itu menyerang.

Mata Shindu terpejam, dia coba melangkah ke kamar mandi dengan tangan yang bertumpu pada apa pun di sekitarnya. Di dalam sana Shindu memuntahkan semua isi lambungnya yang tersisa.

Payah, Shindu tidak ingin jadi selemah ini. Ini penolakan Pandu yang pertama, dan dia berakhir semenyedihkan sekarang. Bagaimana jadinya Shindu, jika Pandu terus berkata tidak dan kukuh mendorong Shindu menjauh?

Bisakah Shindu bertahan?

"Hmm, bu Siti nginep malam ini, om bangunin buat masakin kamu bubur ya Shin?"

Pukas sudah berdiri di sampingnya, mengurut tengkuk Shindu lembut dengan mata lelahnya yang khawatir.

Shindu menggeleng lemah. Dia biarkan Pukas menumpu lengannya kuat, dan membantunya kembali ke ranjang.

"Susu mau?"

Pukas kembali bertanya, dan mendapatkan anggukan dari Shindu yang bersandar lemas pada kepala ranjang.  Shindu benar-benar tidak ingin memakan apa pun saat ini. Bubur labu buatan Siti yang terakhir dia telan sore tadi juga berakhir dia muntahkan. Tenggorokannya semakin sakit, dan Shindu pikir dia hanya mampu menelan cairan.

"Sedikit-sedikit, tapi habiskan!" pinta Pukas, lembut juga tegas. Dia duduk di tepi ranjang Shindu, memandangi keponakan manisnya itu lekat-lekat. Shindu tahu, sebentar lagi Pukas pasti akan mengulangi ceramahnya sore tadi.

Sayangnya, tebakan Shindu tidak meleset. Dia harus mendengarkan lagi wejangan panjang Pukas. Sepertinya Pukas belum tahu apa yang terjadi pada Shindu sampai berakhir seperti ini, dan Shindu yakin Putri tidak mengatakan apa pun pada Pukas. Tentang apa yang mereka lakukan sebelumnya dan dengan siapa Shindu bertemu.

Mungkin itu sebabnya Pukas terus berpesan pada Shindu tentang banyak hal. Dan tidak satu pun di antaranya menyinggung tentang Pandu.

"I told you all the time, efek samping obat kamu itu bikin kamu gampang kena infeksi Shin. Kok kamu masih bandel sih? Hati-hati sama makanan, minuman, lingkungan kamu and the last but not least, jangan banyak pikiran. Om tahu kalau kamu stress pasti efeknya ke pencernaan, jadi masih gak mau cerita?"

Salah, Shindu salah menduga. Pukas sudah tahu semuanya. Namun, dia menunggu Shindu untuk bercerita sendiri padanya.

Mata Shindu yang semula hanya beradu pada cangkir susunya kini berani terangkat. Memandang sendu pada Pukas yang menatapnya penuh tuntutan.

"Pandu, i've found him...."

"That's a good news, what's the problem?"

"Then i lost him, again."

Shindu berakhir menceritakan pada Pukas tentang semua yang menimpanya. Tentang bagaimana Pandu yang dengan entengnya melupakan Shindu tanpa satu alasan pun yang dia mengerti. Dia meluapkan semuanya pada Pukas, dengan umpatan khas Tamil-nya, dengan aksen Mandarin-nya yang kental.

Malam itu, di antara kelamnya gelap kamar. Shindu meledak.

Shindu memeluk tubuh tegap Pukas dengan aliran air mata yang tidak berhenti jatuh dari mata kecilnya. Dia meremas kemeja Pukas tanpa peduli akan rupanya.

Shindu merasa tidak adil. Pandu adalah sumber semangatnya selama ini. Dia adalah segalanya bagi Shindu.

Namun, sebaliknya bagi Pandu. Shindu sulit untuk percaya jika dirinya ternyata tidak berarti sedikit pun. Bagi Pandu, Shindu hanyalah kepingan kecil masa lalu yang pantas untuk dilupakan.

Shindu tidak ingin mempercayainya.

Dia datang untuk merengkuh kembali saudaranya. Shindu datang untuk menjemput kembali pusat kekuatannya.

"Pandu selalu jadi motivasi kamu Shin, dia sumber kekuatan kamu. Tapi kamu melupakan satu hal, kamu telah membawa pergi satu-satunya yang berharga buat Pandu, Shin."

Pukas berucap lirih, begitu hati-hati. Shindu tahu, Pukas berusaha menyadarkannya tanpa menyakiti.

Namun, Shindu sudah terlanjur sakit. Bukan karena apa yang dikatakan Pukas, tapi karena rasa bersalah.

Pukas benar.

Bukan Pandu yang melupakannya dengan mudah, tapi karena Shindu memang pantas untuk dilupakan.

Bukan Pandu yang jahat, tapi Shindu lah yang kejam karena telah memiliki Shintia untuk dirinya sendiri. Dengan teganya dia melupakan kenyataan bahwa jauh di seberang ada Pandu yang membutuhkan sosok ibu sama besarnya dengan Shindu.

Shindu melupakan fakta jika setelah kepergian ayah kandung Pandu, kakaknya itu hanya memiliki Shintia.

Dan Shindu merenggutnya juga.

Shindu kembali meraung dan mengeratkan pelukannya pada Pukas. Dia berkeringat dingin dan mulai sesak napas. Pukas melepaskan pelukan Shindu dan menghela napas saat mendapati anak itu sudah memejamkan matanya rapat dengan napas satu-satu. Sambil terus menggumamkan maaf untuk Pandu.

"Mas Pandu... ma af... ma af...."

Perlahan, Pukas membaringkan Shindu kemudian memasang alat bantu pernapasannya. Dia merapikan selimut Shindu dan menyeka keringatnya lembut.

"Maafin om, Shin."

Malam itu, lagi-lagi Shindu tersakiti oleh sebuah kebenaran.

"Solo, he will forgive me, right?"

19.10.18
Habi🐘















Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang