"Kalau hidup harus seperti ini, tidak apa. Aku tidak yakin kuat, tapi aku bisa berpura-pura kuat."
--Shindu Wijaya--
***
Pandu sempat pingsan saat dia coba kembali menjauhkan
Shindu darinya. Dan Pukas bersyukur untuk itu. Memudahkan mereka untuk membawa Pandu pulang ke kamar kost-nya.Beruntung Shindu sudah tahu sebelumnya di mana alamat kost Pandu. Daerah Pucang Sawit, di depan kampus UNS. Jadi, Pukas sebagai alumni UNS dapat menemukannya dengan mudah.
Turun dari mobil, Pukas kembali menggendong Pandu setelah mencari-cari kunci kamar kost anak itu dari saku juga kantong tas punggungnya. Dia menyerahkannya pada Shindu dan memintanya untuk berjalan duluan.
"Bang, Bang, tamunya siapa?"
Langkah Shindu tertahan oleh seorang laki-laki seumuran Pandu. Kulitnya hitam berambut keriting dengan logat khas Indonesia Timur.
"Maaf, Mas. Saya adiknya Mas Pandu. Ini Mas Pandunya lagi sakit."
Laki-laki itu melihat ke arah Pandu di gendongan Pukas, kemudian mengangguk singkat dan meminta Shindu untuk mengikutinya.
"Nama beta, Afrianus. Teman kost-nya Pandu, mari ikut beta."
Afrianus berjalan lebih dulu. Dia berhenti di depan sebuah pintu kayu dengan angka empat tertulis di sana. Tepat di bawah tangga, dan di sebelahnya berjejer tiga kamar mandi.
"Ini kamar Pandu, kamar beta di sana. Ada apa-apa bisa panggil beta."
Berterimakasih atas bantuan Afrianus, Shindu mengangguk kemudian tersenyum. Setelah Afrianus kembali ke kamarnya, Shindu membuka kamar kost Pandu dan membiarkan Pukas masuk lebih dulu.
Pukas menidurkan Pandu di atas single bed tipis, tanpa ranjang. Dia masih menggigil kedinginan. Kemudian Pukas melepas jaket anak itu.
"Om mau keluar dulu sebentar, cari makan malam buat kamu juga obat buat Pandu. Kamu di sini aja dulu."
Shindu mengangguk. Selepas kepergian Pukas, dia duduk bersila di sebelah Pandu. Melihat ke sekeliling kamar Pandu dengan mata kecil sayunya yang nampak sedih.
Kamar Pandu hanya sekitar 6 meter persegi. Sudah penuh hanya dengan sebuah single bed, sebuah lemari baju berbahan plastik, sebuah rak buku, meja kecil tempat Pandu meletakan magic com dan beberapa botol minumnya. Lantainya beralaskan karpet hijau tipis seadanya.
Shindu hampir menangis membayangkan keseharian Pandu di tempat sesempit ini. Bagaimana kerasnya kehidupan kakaknya itu semenjak Shintia meninggalkannya. Kuliah sambil bekerja pasti berat sekali rasanya.
Hingga suara dering ponsel Pandu sampai ke telinga Shindu.
"Maaf ya, Mas. Shin gak sopan buka-buka privasinya Mas Pandu. Tapi ini urgent."
Shindu bergumam lirih di dekat Pandu, kemudian anak itu bergerak cepat membongkar tas Pandu. Mengambil ponsel Pandu yang masih berdering dari dalamnya, dan Shindu bergeming saat mendapati nama "Simbah" tertulis pada layar.
Shindu ragu, setengahnya lagi dia takut jika apa yang dia lakukan nanti akan memperburuk hubungannya dengan Pandu.
Namun, akhirnya Shindu memutuskan untuk menggeser tombol dial. Dia membisu hingga orang di ujung sambungan berucap salam dengan suara serak khas orang tua.
"Assalamu'alaikum, Le?"
Shindu mengingat suara itu. Suara dari seorang kakek berwajah lebar dengan kumis dan jambang tebal yang pernah dia temui dulu sekali. Suara dari seseorang yang dipanggil simbah oleh Pandu. Suara dari seseorang yang pernah membentak Shintia. Suaranya besar dan begitu keras, Shindu yang saat itu bermain di halaman depan bersama Pandu sampai terkaget dan berakhir menangis.
Shindu ingat betul suara siapa itu. Rasa takutnya masih dia simpan hingga sekarang. Maka hanya untuk menjawab salam pun, Shindu kesulitan. Dia sudah menarik napas berulang kali, mencoba untuk tetap tenang. Namun, Shindu tetap tergagap.
"I ... iya Eyang?"
"Lho ini siapa? Thole Pandu mana?"
"E ... saya temannya Mas Pandu, Eyang. Mm ... mas Pandunya baru sakit."
Shindu mendengar helaan napas berat dari ujung sambungan.
"Yowis Le, besok simbah ke Solo. Titip Pandu ya, Le."
"Iya, Eyang."
Sambungan telpon mereka terputus, dan Shindu luar biasa lega. Dia menghela napas kasar dan sepertinya Pandu terganggu olehnya.
Pandu bergerak gelisah dalam tidurnya. Dia banyak berkeringat, tapi menggigil kedinginan. Tidak tahu harus berbuat apa, Shindu berniat mengambilkan air minum untuk Pandu. Setahunya jika orang sedang demam harus banyak minum.
Namun, Shindu tidak bisa menemukan gelas apalagi sedotan. Yang ada hanya dua botol besar air mineral yang masih tersegel rapat. Pandu pasti akan kesulitan untuk meminumnya tanpa gelas.
Panik, Shindu tidak sengaja menjatuhkan asbak. Bunyinya tidak begitu berisik sebenarnya, mengingat lantai kamar kost Pandu dilapisi oleh karpet. Tapi dia tetap saja terganggu. Anak itu tidak lagi menggigil kedinganan, digantikan dengan gumaman kecil yang Shindu tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Pandu mengigau. Lantas Shindu memilih untuk lebih mendekat pada Pandu. Meninggalkan abu rokok yang masih berceceran di atas karpet demi mendengarkan apa yang digumamkan Pandu. Siapa tahu Shindu bisa menenangkannya nanti, begitu pikir Shindu.
Shindu bersila lebih dekat dengan Pandu. Tangannya terulur menepuk-nepuk pelan dada Pandu coba untuk menenangkannya. Dan sepertinya berhasil, Pandu berhenti mengingau. Shindu tersenyum lega, tapi tidak berselang lama gumaman itu kembali. Kali ini lebih keras dan lebih jelas.
"Ma ... mama ... Pandu sa ... kit ma .... "
"Ma ... ma ... ma ...."
Shindu bisa mendengarnya dengan jelas, bagaimana Pandu merintih dan berulang kali memanggil mama. Dia juga bisa melihat air mata mengalir dari ujung mata Pandu, menetes ke bantalnya.
Sekali lagi, Shindu hancur. Dia pernah mendengar rintihan yang sama, rintihan yang sama menyakitkannya. Dari Shintia.
Tepatnya tiga tahun yang lalu, saat Shintia sempat jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja dan menjaga Shindu di rumah sakit. Shindu yang terbangun karena rasa nyeri di dadanya yang datang tiba-tiba di tengah malam, harus disuguhi oleh penderitaan Sang Ibu.
Shintia tertidur di atas sofa, dia tidak kunjung bangun saat Shindu coba memanggilnya. Dan begitu suster jaga datang sesuai panggilan Shindu melalui emergency button, Shindu tahu jika Shintia sedang demam. Dalam tidurnya, Shintia merintih memanggil Pandu, Shintia meminta maaf, dan berjanji untuk segera menjemputnya.
Saat itu, untuk pertama kalinya Shindu menyalahkan dirinya sendiri. Karena berada di antara Shintia dan Pandu.
Dan hari ini, malam ini, Pandu menegaskan semuanya. Langsung di depan Shindu.
Bahwa bukan hanya Shintia yang menyesal meninggalkan Pandu.
Bahwa Pandu sama menderitanya dengan Shintia.
Semua tragedi itu adalah Shindu penyebabnya.
Maka, Shindu tidak bisa lagi mendengarnya. Saat ini dia tidak ingin melihat Pandu dari sisi terlemahnya.
Shindu tidak sanggup. Dengan tangis tertahan dia keluar dari kamas kost Pandu. Memilih duduk seorang diri di halaman depan. Tanpa jaket juga maskernya. Matanya panas, kering karena angin malam yang dingin tidak hentinya berhembus.
Air matanya enggan menetes, karena itu sakit di hatinya tidak kunjung berkurang. Seolah melubangi setiap sudutnya, menyakitkan.
Rasa sakit itu. Shindu pantas mendapatkannya. Kalimat itu terus terputar dalam benaknya, tanpa tahu jika di dalam sana Pandu membuka mata sayunya. Dia melihat ke arah pintu yang ditutup dengan kasar oleh Shindu dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
26.11.18
Habi🐘A.n Ehm... aku ❤ kalian readersku. 😯
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...