Sahur ... sahur ...!
Tepat pukul tiga dini hari, Pandu terbangun dengan mata beratnya yang masih mengantuk. Dia memaksakan diri untuk keluar kamar, tanpa mencuci muka terlebih dulu. Dingin katanya.
Saat itu memang sedang dingin-dinginya. Bulu kuduk Pandu sampai berdiri dibuatnya. Pandu semakin tidak rela menanggalkan sarung yang saat ini masih membungkus tubuhnya.
Pandu berjalan melewati dapur, di mana Shintia sedang menghangatkan sayur untuk makan sahur mereka.
"Uda bangun, Sayang? Cuci muka gih, trus bangunin adek!"
Jika bukan Shintia yang memintanya, Pandu tidak akan menyentuh air saat itu. Maka, dengan gerakan malas, Pandu pergi ke wastafel dapur dan mencuci mukanya di sana.
Tidak lama, Pandu selesai. Karena dia hanya membasahi ujung jari telunjuknya dan mengusapkan sisa air dingin itu ke matanya yang masih lengket saja.
Irit air katanya ....
Dasar banyak alasan ....
Tanpa bantahan, Pandu yang sudah setengah melek melangkah ke kamar Shindu.
Dengan alasan yakin kalau Shindu belum bangun, Pandu masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Dan sayangnya, kali ini Pandu salah.
Shindu sudah terjaga, atau sebaliknya, dia belum tidur sama sekali.
Malam sebelumnya, Shindu memang sudah berpesan untuk membangunkannya saat sahur nanti. Apa mungkin Shindu sengaja tidak tidur karena takut tidak bangun saat jam sahur tiba?
Pandu pikir tidak mungkin.
Namun, begitu Pandu mendekat dan lebih lekat melihat adiknya itu, Pandu berubah panik.
Shindu duduk di atas ranjang dengan kedua kaki yang terulur ke bawah. Keringatnya mengucur, membasahi poninya. Sementara napasnya terengah berat, sama persis seperti Shindu yang Pandu lihat setelah menjalani serangkaian terapi fisiknya.
Jangan-jangan, anak itu berlatih semalaman.
Saking khawatirnya, Pandu takut untuk bersuara. Dia berjongkok di depan Shindu. Tangan besarnya menggenggam kedua tangan kurus Shindu yang malam itu bergetar hebat dan basah oleh keringat.
"Shin?" panggil Pandu pelan, dan entah bagaimana bisa mengagetkan Shindu. Anak itu mulai bergerak bingung, mencari-cari tongkatnya, mata kecilnya lebih sayu dan memerah malam itu. Mungkin benar dugaan Pandu, jika Shindu tidak tidur semalaman.
"Kamu habis ngapain, hmm?"
Shindu menggeleng, dia mengangkat wajahnya hingga Pandu bisa melihat gurat pucat bercampur lelah dari sana.
Pandu juga bisa melihat langsung mata Shindu yang bergerak tidak fokus. Anak itu di ambang kesadarannya, hingga Pandu harus menguatkan genggamannya untuk bisa menarik perhatian Shindu.
"Shin, lihat Mas!"
Shindu menurut.
Kemudian Pandu melanjutkan pertanyaannya.
"Kamu latihan jalan semalaman?"
Shindu mengangguk.
Dan setetes air mata jatuh begitu saja dari mata kecilnya yang memerah.
"Kata terapis Shin, Shin harus banyak latihan, Mas. I did, i swear. But its not working!!"
Alih-alih berteriak frustrasi, Shindu merintih. Tangan kirinya terlepas dari genggaman Pandu, kemudian bergerak brutal memukuli kaki kirinya.
Pandu hancur melihatnya.
Pun Shintia, yang menyaksikan kerapuhan sang putra.
Ternyata selama ini Shindu menyembunyikan semua rasa yang menyiksanya. Ketakutan, kekhawatirannya dia simpan seorang diri.
"Shin pengen bisa jalan yang bener lagi, Mas."
Pandu dan Shintia lupa, jika Shindu hanya remaja enam belas tahun yang begitu sensitif.
"Shindu enggak mau cacat, Mas!"
Dengan hati hancur, Pandu memeluk Shindu erat. Anak itu masih terisak hebat, meracau mengenai hal lain yang ternyata selama ini mengganggunya.
"I hate the way people staring at me!!"
Shindu mulai berteriak, dan Pandu semakin mengeratkan rengkuhannya.
Pandu tidak tahu jika selama ini Shindu begitu tertekan dengan kondisinya.
Dia tidak tahu jika anak itu sangat tergganggu dengan pandangan orang-orang.
Malam itu, ditengah kehancuran sang adik. Pandu lebih remuk.
Dia gagal.
Dan dia takut mengakuinya.
26.05.19
Habi 🐘😢
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...