Shindu masih empat belas tahun waktu itu.
Saat rasa sakit yang tidak tertahankan menyerangnya bertubi-tubi. Jantungnya rusak parah.Kata dokter, Shindu harus segera mendapatkan jantung baru atau dia tidak mampu bertahan lebih lama.
Shindu yang terus kesakitan berangsur lemah. Semakin banyak tertidur, dan akan bangun sesekali untuk mengeluh sakit. Kemudian terpejam kembali.
Hampir sama dengan malam-malam sebelumnya. Malam itu, Shindu terbangun sambil meringis kesakitan. Setiap detakan jantungnya yang lemah membawa serta rasa sakit yang luar biasa.
Shindu hampir tidak bisa lagi menahannya.
Dia meremas jemari Shintia yang tidak pernah sedetik pun meninggalkannya. Duduk sambil terkantuk-kantuk di sebelah ranjang sang putra.
"Mom ...," panggil Shindu, suaranya lemah dan teredam oleh masker oksigen yang dikenakannya.
"Iya, sayang. Mommy di sini. Do you need something?"
Shindu menggeleng, air mata jatuh dari sudut mata kecilnya, lalu membasahi bantal.
"It's hurt, Mom. It's hurt me so bad."
Shindu mengeluh. Dengan suara lemahnya yang terbata, dia coba mengatakan pada Shintia bahwa dia kesakitan. Sangat kesakitan.
Shintia remuk. Dia coba tersenyum walau air mata sudah membasahi pipinya.
Shintia bingung, kata mana lagi yang akan dia gunakan untuk menenangkan sang putra. Cara mana lagi yang bisa dia pakai untuk mengurangi rasa sakit Shindu.
Maka, Shintia coba membelai lembut dada Shindu. Seperti biasa. Karena tidak ada lagi yang bisa Shintia lakukan selain menunggu datangnya donor jantung yang mereka butuhkan.
"Mom, please find a new one. I don't want to die."
Yang selalu Shintia dan Rama syukuri adalah semangat Shindu.
Dia menangis. Dia mengeluh. Tetapi, tidak sekalipun Shindu berpikir untuk menyerah. Dia bertahan walau rasa sakit itu perlahan menyiksanya.
Meski Shintia tidak pernah tahu apa yang menjadi sumber semangat Shindu, Shintia bersyukur luar biasa karenanya. Berkatnya, Shindu sanggup bertahan hingga sekarang.
Begitu lelah menangis, Shindu kembali tergolek lemah. Memejam dengan rintihan kecil yang menguar dari getar bibir tipisnya.
Shintia tidak sanggup lagi menahan tangis. Mata basahnya memandang Rama yang berdiri kaku di ambang pintu. Memohon dalam bungkamnya, pada lelaki satu-satunya yang bisa dia andalkan saat ini.
Walau tidak pernah ada cinta di antara mereka berdua, tapi Shintia yakin, Rama mencintai Shindu lebih dari apapun.
Shindu satu-satunya penerus sah keluarga Wijaya. Dia adalah putra mahkota yang begitu diharapkan oleh kedua orang tua Rama.
Saat itu, hanya dengan melihat Rama mengangguk, Shintia merasa seluruh dunia ada di genggamannya.
Shintia percaya, Rama Wijaya adalah sosok yang bisa diandalkan. Kekuasaan, harta, terlepas dari semua hal baik atau buruk yang akan Rama lakukan untuk mewujudkan keinginan Shindu.
Shintia tidak peduli.
Asal Shindu selamat.
Asal Shindu bisa selalu bersama mereka.
Shintia benar-benar tidak peduli.
Hingga dia mendengar suara berat dari Chandra--kakek Shindu--menggema dari balik pintu. Suara beratnya sarat akan ketegasan, meminta Rama untuk segera bertindak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Historia CortaSolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...