Jika dipaksa untuk mengingat kapan pertama kali aku bertemu dengan Shindu, maka yang paling aku ingat adalah saat Shindu dengan lagak canggungnya tidak sengaja menendang kendang berharga Fajar.
Konyol sekali, pikirku.
Tetapi, anehnya, sejak saat itu juga, aku tidak berhenti penasaran. Tidak berhenti bertanya-tanya siapa agaknya anak manja yang kemana-mana membawa kartu kredit alih-alih uang tunai itu. Anak enam belas tahun yang masih memanggil dirinya sendiri dengan nama. Koko-koko yang maunya dipanggil Mas-mas.
"Kamu, tuh kokoh-kokoh, Shin! Terima aja!" candaku waktu itu, sambil tertawa meledek.
Menyenangkan sekali!
Lantas … aku merelakan diriku terlibat lebih intim dengan Shindu. Kami saling kenal, mencari tahu lebih dalam satu sama lain, kami bersenang-senang bersama, menghabiskan banyak waktu untuk menjadi sekadar remaja. Lalu Shindu dengan bangga memanggilku sebagai teman.
"Hi, Mom. Please, meet my friend, Kahfi." Begitu kata Shindu, saat pertama kali dia mengenalkanku pada ibunya.
Temanku banyak, tapi saat Shindu bilang bahwa aku teman pertamanya di Solo ….
Huh!
Menyesakkan sekali!
Lalu, entah bagaimana, waktu menyeret kami untuk melalui banyak hal. Sedih, senang, tertawa, menangis, lantas dengan ajaibnya mengikat kami dengan takdir.
Aku merasa, kami harus selalu bersama.
Ada yang harus aku jaga.
Ada yang harus aku tahu.
Ada yang harus aku benarkan keberadaannya.
Bahwa, jika ada pertemuan, kebersamaan, pasti akan ada perpisahan.
***
"Shin?"
"Hmm?" gumam Shindu. Anak itu masih memeluk guling, tidur nyaman sekali. Agaknya tidak peduli kalau sebentar lagi pengumuman hasil SBM kami akan keluar.
"Mau lihat bareng enggak, Shin?"
Aku toyor dahinya, berusaha membangunkan, sekalian memeriksa suhu tubuhnya. Semalam, kata Mas Pandu, Shindu sempat demam. Nggak tahu karena apa.
Setelah lebih dari dua tahun kenal Shindu, tidak banyak yang berubah dari anak itu.
Shindu masih jadi anak ringkih yang sukanya bikin khawatir ibu dan masnya. Shindu masih jadi anak manja yang naik motor sebentar langsung masuk angin. Shindu masih jadi anak baik, yang selalu peka luar biasa dengan kondisi orang di sekitarnya.
Oh iya, sekarang Shindu sudah tidak memanggil dirinya sendiri dengan nama. Alasannya karena anak-anak cewek di kelas selalu memanggilnya gemas setiap kali Shindu melakukannya. Lucu sekali setiap kali aku mengingat kejadian itu.
"不,只有你."
Kan! Dia masih ngelindur.
"Embuh Shin! Aku rak mudeng."
Aku mengambil duduk di sofa kamar Shindu, menyalakan laptop.
"Kamu, aja Fi! Punyaku sekalian liatin."
"Hmm, masih pusing?"
"困."
"Hilih, MacBook-mu mana?"
"Lupa."
Aku menghela napas, bergerak malas mendekat tempat tidur Shindu, menyibak selimutnya lalu mendapati macbook Shindu di bawah kakinya.
"Kalau enggak lolos gimana, Shin?"
"Ada Daddy," jawabnya santai, masih merem. Dasar kaya dari lahir.
Tidak lama, hasilnya pun keluar. Kami berdua lolos, dengan PTN dan prodi yang sama. Aku tersenyum tipis, dan aku yakin tidak sulit bagi Shindu untuk mengartikannya.
"Can you reach My Mom? Kita butuh rumah kos." Teriak Shindu senang, dia bangkit dari tempat tidur, meraih tongkat, lalu tertatih mendekatiku sambil menyodorkan kepalan tangan untuk aku sambut.
"You did it!"
"We did it!"
Aku akan pergi kemanapun kamu pergi, Shindu.
14.10.21
Habi 🐘
A.n
Assalamualaikum, apa kabar semuanya? Semoga sehat sehat ya ... Duh senangnya, akhirnya Tante diberi kesempatan untuk silaturahim dengan kalian 😍
Ada yg penasaran enggak ini chapter apa?
Jadi ... Ini bakal jadi perjalanan baru untuk Shindu dan Kahfi, 😍
Chapter ini akan fokus ke kehidupan perkuliahan mereka berdua, dan dalam prosesnya Kahfi akan tahu apa yg seharusnya dia ketahui. 😁
Jangan bingung ya ...
Sabar dulu ...
Owh iya, nabungnya juga jangan lupa ya ... Karena lanjutan chapter ini nanti hanya untuk kalian yang rajin nabung demi bisa menjamah Shindu 😍🤩
Love you teman teman, see you the next Friday? 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...