"Jika sekadar rasa takut kehilangan bisa membuatku semenderita ini. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan?"
--Shindu Wijaya--
***
Solo pagi itu berawan, mendung tipis, dan angin berhembus dingin melewati jendela kaca di sebelah kiri Kahfi. Angin itu sampai pada Shindu yang duduk tepat di sebelah Kahfi. Mengusik fokusnya, kemudian menggelitik hidung Shindu hingga anak itu bersin-bersin kecil.
Pagi itu, Shindu kacau. Kepalanya pusing dan perutnya masih tidak nyaman. Mata kecilnya berair dan berat sekali rasanya. Belum lagi materi yang disampaikan Pak Teguh, bertele-tele, dan membosankan.
Baru kali ini Shindu dapati pelajaran Kimia yang membosankan. Untungnya Shindu sempat membaca buku teks Kimia-nya. Lagi pula materi yang disampaikan oleh Pak Teguh sekarang pernah dia dapatkan semasa Shindu masih di Singapura.
Jadi, Shindu tidak harus memusatkan perhatiannya pada Pak Teguh. Pak Guru tambun yang sejak menit ke lima hanya mondar-mandir di depan kelas. Bahkan Shindu tidak yakin kalau Pak Teguh sendiri paham dengan materi yang disampaikan.
Shindu tidak tahu saja, kalau Kahfi memperhatikannya sambil bertanya-tanya. Karena dari dua puluh menit terakhir Shindu hanya menunduk untuk mengamati layar hitam ponselnya yang tersimpan di laci meja.
Shindu berharap, layar hitam itu akan menyala dan menampilkan beberapa pemberitahuan. Pesan atau panggilan tidak terjawab dari Shintia barangkali. Karena jujur, sejak percakapannya dengan Pukas tadi pagi Shindu merasa tidak nyaman.
Shindu sulit sekali untuk tenang, untuk mengendalikan pola pikirnya yang sempat kacau belakangan ini. Shindu coba menetralkan pikiran negatifnya dengan hal lain yang luar biasa, tapi masih enggan berhasil.
Jika ingin berpikir ulang, bukankah ini yang Shindu inginkan? Shintia dan Pandu bersatu kembali. Namun, ketika pikiran negatif menyeret Shindu pada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bahkan belum tentu terjadi. Shindu mulai mengenal apa itu rasa tidak rela.
Jauh di dalam hatinya ada rasa itu, dan sebagian lagi yang lebih mendominasi adalah rasa takut. Takut jika suatu saat Pandu akan meminta Shintia darinya. Seutuhnya, tanpa harus membaginya.
"Shin, kamu kenapa?"
Suara Kahfi mampu mengangkat arah pandang Shindu. Dia tersenyum pada Kahfi dan menggeleng kecil menjawab rasa penasaran teman sebangkunya itu.
"Jadi mau gimana tugas kelompoknya?"
"Hah? Tugas kelompok?"
Mata kecil Shindu membesar, setengah kaget dengan pertanyaan Kahfi. Terang saja, karena sedari awal fokus anak itu bukan pada pelajaran. Bahkan Shindu saja tidak tahu kalau jam pelajaran pertama sudah berakhir. Bagaimana bisa dia tahu tugas kelompok yang sempat disebutkan oleh Pak Teguh?
"Kamu gak tahu tugas kelompok itu apa? Aduh apa ya bahasa inggrisnya .... "
Kahfi tengah sibuk memanfaatkan Google terjemahan, tapi Shindu menyelanya. Tangan kirinya menurunkan ponsel dalam genggaman Kahfi.
"Shin tahu Fi, maksud Shin tugasnya apa? Trus juga kelompok kita siapa saja?"
"Ualah, makanya kalau lagi pelajaran itu jangan bengong!"
Kahfi menggerutu sambil sibuk membuka catatannya kembali. Sedangkan Shindu hanya tersenyum geli melihatnya.
"Nih, menentukan kosentrasi asam-basa dari hasil titrasi. Trus kita cuma bertiga Shin, satunya siapa ya? Kalau Fajar aja gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...