"Aku tidak tahu, kalau penyangkalan akan semerepotkan ini."
--Pandu Dharma--
***
Pagi itu langit mendung. Angin berhembus kencang dan menabrak rembuyung daun mangga di sebelah kamar rawat Shindu. Suara gesekan daun juga rantingnya bergemuruh berisik. Shindu tidak suka.
Masih pagi dan cuaca di luar seolah enggan mendukung Shindu. Sejalan dengan Rama semalam, yang menolak permintaan Shindu karena satu dua alasan yang tidak bisa dia terima.
Demi kebaikan Shindulah.
Aturan rumah sakitlah.
Demi menghormati keputusan almarhumlah.
Shindu tidak mengerti. Dia belum bisa terima. Dia hanya menginginkan jawaban, tidak lebih dari itu.
Lagipula jika dia tahu semuanya, apa yang bisa dia lakukan?
Shindu bukan si bodoh yang akan mendatangi keluarga pendonornya untuk berterus terang dan berterimakasih.
Dia juga bukan si tidak tahu diri, yang tidak tahu membalas budi padahal sadar sebesar apa hadiah yang telah dia terima.
Berdiam diri di atas brankar kala otak dan hatinya berteriak menuntut jawaban benar-benar membuat Shindu frustrasi.
Shindu tahu, dia sadar jika seharusnya dia tidak boleh terlalu membebani pikirannya. Serangan jantung tidak bisa dianggap enteng. Dia juga paham, dia tidak boleh menyia-nyiakan jantung barunya.
Namun, Shindu benar-benar bingung sekarang. Dia terus bergerak gelisah. Sebentar-sebentar melihat pada layar ponsel dan berniat mencabut jarum infusnya.
Hampir saja Shindu melakukannya, hingga suara seseorang mengetuk pintu kamar menghentikannya.
Evita masuk dengan senyum secerah lazuardi. Dia menyapa Shindu, dan meletakan keranjang buah di atas lemari kecil sebelah kiri brankar Shindu. Kemudian jemari lentiknya mengusap rambut Shindu lembut.
"Morning, sweetheart."
Shindu bergumam menjawabnya.
"Sudah enakan Shin?"
Enggan menjawab pertanyaan Evita, Shindu hanya mengangguk.
"Aunt Ev off duty today?"
"Hmm .... "
Mengambil sebuah apel dari keranjang, Evita duduk di kursi sebelah brankar dan mulai mengupas apelnya.
"I have questions."
Tidak seperti dengan Pukas, Shindu masih memiliki rasa sungkan pada Evita. Kurang lebih tiga tahun yang lalu mereka kenal, dan baru dua tahun terakhir mereka mulai dekat. Tepatnya setelah Evita resmi menjadi istri Pukas.
Shindu masih belum terbiasa. Masih ada sungkan dan rasa tidak enak hati ketika mereka bicara berdua saja.
"Tanya aja Shin, mau nanya apa?"
Evita menyodorkan sepotong apel. Shindu menerimanya dengan tangan kanan. Tidak berniat memakannya sebelum dia berhasil menanyakan perihal Fi pada Evita.
"Shin penasaran sama Fi."
Evita mengangkat arah pandangnya. Sedikit kaget mendengar pernyataan Shindu. Evita tidak menyangka jika Shindu akan menanyakan tentang anak yang kemarin sempat terlibat cekcok dengannya.
"Namanya Pradipta Kahfi. Dia teman sekelas kamu lho, Shin."
Evita mulai bercerita tentang Kahfi. Mulai dari nama lengkap anak itu, kenyataan lain jika ternyata Shindu akan sekelas dengannya, sampai ke kehidupan pribadi Kahfi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Storie breviSolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...