"A dozen of enemy feel nothing when I have a brother standing next to me."
--Shindu Wijaya--
***
Shindu semakin percaya dengan apa yang dulu pernah dia dengar dari Shintia.
"Jangan pernah memulai harimu dengan setengah hati, atau kebaikan enggan mendekatimu."
Shindu merasakannya sendiri sekarang. Sepertinya hanya sedikit kebaikan yang akan dia dapati hari ini.
Setelah merasa cukup bersalah karena kecerobahannya, kini Shindu pun tidak bisa membantu apa-apa selain melihat dari jauh.
Dia ingin mendekat sebenarnya, tapi ada sesuatu yang menahan langkahnya. Meneriakkan pada Shindu untuk tidak mempersempit jaraknya dengan anak yang sekarang tengah kesusahan keluar dari dalam kolam.
Shindu tahu anak itu butuh bantuannya. Tapi dia masih bergeming tanpa tahu alasannya. Bahkan Shindu tidak mengerti dengan dirinya. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, dia akan jadi orang pertama yang mengulurkan tangan jika ada orang lain membutuhkan bantuan.
Namun, tidak pagi itu.
Otak dan hatinya tidak sejalan. Saat nalarnya mengatakan untuk membantu, hatinya berontak. Melarang Shindu untuk tidak mendekat barang selangkah.
Hingga sekelompok anak lain berlarian dari belakangnya. Beberapa sengaja mendorong Shindu, dan yang lain tidak berniat menyenggol lengannya. Mau tidak mau Shindu terbawa langkah cepat mereka.
Shindu berdiri diam di belakang mereka. Yang paling kurus kecil dan berkacamata berdiri tepat di depan kolam. Dia mengulurkan tangan untuk menerima benda yang tadi tidak sengaja Shindu jatuhkan.
"Fi, siniin kendangnya!"
Sedangkan yang dua lagi membantu--anak yang tadi dipanggil Fi--keluar dari kolam. Celana abu-abunya basah hingga ke lutut, bau has kolam bahkan sudah melekat di sana. Belum lagi sepatunya, basah kuyup dan bercampur dengan lumut.
"Rusak gak, Jar?"
"Gak pa pa ini, tapi harus cepet-cepet dijemur Fi."
"Alhamdulillah. Heh, Mas! Anak baru ya?"
Shindu mengalihkan pandangannya. Yang semula tertuju pada sepatu dan bau kolam yang menganggunya, sekarang pada Fi yang berkacak pinggang tepat di depan Shindu.
Shindu membisu, dia terjebak pada mata Fi yang hitam pekat. Alisnya tebal hampir menyatu, nampak galak sekali.
Alih-alih ketakutan, Shindu dihanyutkan oleh rasa lain yang sulit diutarakan. Hatinya sakit, matanya panas dan mulai berair. Rasa yang selama ini belum pernah Shindu rasakan.
Hampir mirip dengan rindu, tapi ini berkali lipat menyakitkan.
Nalar siapa yang bisa menjelaskan rindu yang dirasakan Shindu? Jika ini adalah kali pertamanya melihat mata tajam Fi, ini pertama kalinya Shindu mendengar suara beratnya.
"Mas Shindu Wijaya, kalau ditanya ya jawab!"
Fi mendekat dan mengeja name tag Shindu, saat itulah air mata Shindu menetes. Hatinya sakit, dadanya sesak tidak tertahankan, jantungnya berdebar seolah berontak ingin bebas.
Shindu ingin bicara, tapi dia tidak tahu apa yang ingin dia katakan.
Shindu ingin berteriak, tapi dia butuh alasan.
Dadanya semakin sesak dan Shindu mulai terhuyung ke belakang. Dia bisa melihat wajah Fi dan teman-temannya yang semula sangar, kian melunak. Samar, mata mereka melihat Shindu khawatir.
![](https://img.wattpad.com/cover/156188996-288-k291759.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...