Sepulang mengantar Shindu fisioterapi, Pandu mampir ke Solo Bistro. Selain untuk makan malam bersama Shindu, Pandu punya niatan lain.
Bertemu Putri.
Sejak kontrak kerja Pandu di tempat itu habis, dan ditambah akhir-akhir ini disibukan dengan Shindu, Pandu jadi jarang bertemu dengan Putri.
Di kampus pun tidak.
Entahlah, rasa-rasanya sulit sekali bagi Pandu untuk menemukan Putri. Pandu pikir, Putri menghindarinya entah karena apa. Tetapi, setelah mendengar sendiri jadwal Putri dari teman dekatnya, Pandu mengerti.
Putri memang rajin, dia pekerja keras. Dan Pandu salut olehnya.
Mungkin karena Putri dididik untuk mandiri sejak dini. Sebagai sulung yang terlahir dalam keluarga sederhana membuat Putri tumbuh menjadi sosok yang tangguh.
Pandu diam-diam mengaguminya.
Pandu menyadarinya selama Shindu tidak berada di sampingnya, selama dirinya karam di dasar harapan, seolah rela saja dikalahkan putus asa.
Putri selalu di sana, di samping Pandu. Canggung, tapi Pandu bisa merasakan ketulusan menguar dari setiap kalimat yang disampaikan Putri.
Putri bukan tipe perempuan yang fasih dalam memberi nasihat. Dia lebih suka memaksa, dengan suara lantang meminta Pandu menceritakan apa yang dirasakan. Dan Pandu akui, Putri adalah pendengar yang baik.
Itulah yang paling Pandu butuhkan di saat-saat sulitnya.
Bukannya menjejali Pandu dengan banyak nasihat dan pendapat yang belum tentu Pandu butuhkan. Putri lebih suka mendengar keluh kesah Pandu, kemudian mengajak Pandu untuk menikmati hiburan sederhana yang bisa dia usahakan.
Seperti makan di kantin fakultas, jalan-jalan ke Taman Balaikambang untuk memberi makan rusa, atau hiburan lain yang bisa terjangkau oleh mereka berdua.
Jujur, Pandu menyukainya.
"Mas, Shin pingin makan ini boleh?"
Shindu menunjuk pada buku menu yang sebelumnya sudah siap di atas meja mereka. Tetapi, dia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Pandu.
Kakaknya itu tengah disibukan oleh sesuatu. Entahlah, Shindu kurang yakin, sepertinya Pandu sedang mencari seseorang di tengah ramainya Solo Bistro Restaurant di jam-jam makan malam seperti saat ini.
"Mas! Nyariin siapa?"
Shindu kembali mengulang panggilannya pada Pandu. Sambil mengembalikan buku menu kepada salah satu pelayan yang datang untuk mencatat pesanan mereka.
"Heh, enggak. Enggak nyariin siapa-siapa, Shin. Gimana, udah pesen?"
Shindu mengangguk, mata kecilnya menatap Pandu curiga. Tapi bibir tipis merah jambunya memilih diam.
Akhir-akhir ini memang Shindu mulai menyadari keanehan Pandu. Kakak yang biasanya selalu fokus padanya, entah kenapa perlahan berubah. Pandu lebih sering bermain dengan ponselnya, bukan permainan online yang seperti biasa Shindu mainkan. Melainkan dengan ruang obrolan singkat, entah dengan siapa.
Shindu jelas penasaran, tapi dia masih enggan bertanya. Coba menebak juga takut salah. Tetapi, satu yang bisa Shindu pastikan, bahwa hanya "cewek" yang bisa mengalihkan perhatian Pandu dari Shindu. Bukan masalah perkuliahan, bahkan kerjaan sekali pun.
Dan pertanyaan terbesar Shindu adalah, cewek mana yang bisa merebut perhatian Pandu?
10.05.19
Habi🐘Sepertiga dosis obat untuk mereka yg rindu Shindu 😯menunggu Pandu 😯 dan yang di otaknya selalu terpatri nama Putri 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...