"Tahukah kamu, jika caramu memandangku bisa menyakitiku?"
-Shindu Wijaya-***
Shindu menghela napas rendah saat taksi online pesanannya datang. Dengan bantuan Burhan, Shindu kenal ojek online. Namun, belum sepenuhnya.
Dia melewatkan bagian informasi tentang jenis mobil yang dia pesan. Dan hasilnya, datanglah sebuah mobil berkabin sempit ke hadapannya.
Bukannya manja, Shindu hanya belum terbiasa. Dia coba tersenyum ramah saat si supir menurunkan kaca depan mobilnya dan meneriakan pertanyaan pada Shindu.
"Mas Shindu?"
Shindu mengangguk kaku.
"Ayo masuk, Mas!"
Shindu coba kembali tersenyum, kemudian melangkah ke sebelah kiri mobil. Namun senyumnya luntur begitu Shindu membuka pintu belakang dan aroma freon menusuk hidungnya.
Tajam sekali.
Celaka.
"Kok gak jadi masuk, Mas?"
"Sebentar, Pak."
Shindu kembali menutup pintu belakang. Dia mengenakan masker dan merapatkan hoodie-nya terlebih dahulu. Meyakinkan dirinya sekali lagi jika dia akan baik-baik saja. Jika perjalanan yang dia tempuh hanya akan memakan waktu 20 menit dan selama itu dia tidak akan kenapa-napa.
Membuka kembali pintu belakang mobil, Shindu masuk dengan perlahan. Kaki jenjangnya terpaksa dia lipat dan lututnya harus terantuk kursi di depannya. Tidak hanya itu, punggung dan leher Shindu juga harus membungkuk jika tidak ingin terbentur atap mobil.
"Walah, Mas. Masnya tingginya berapa to?"
Shindu tersenyum kaku, tidak ada niat sedikit pun untuk menjawab pertanyaan pak supir yang terdengar seperti basa-basi di telinganya.
Perjalanannya dimulai dan sesekali Shindu harus meringis kecil saat mobilnya tidak sengaja bertemu dengan jalan berlubang.
Tidak apa.
Ini tidak seberapa.
Jangan salahkan Joko yang harus Yasinan di desanya malam itu.
Jangan limpahkan pada Putri yang belum pulang karena harus bekerja lebih dahulu.
Iya, benar.
Ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan Pandu selama ini. Dari sana lah, Shindu menguatkan dirinya. Yang perlu dia lakukan hanya bertahan sebentar lagi dan sampai lah dia di sebuah restoran fusion tempat Pandu bekerja.
Malam itu juga. Saat Burhan menyadarkan Shindu tentang betapa beratnya menyerah; karena itu artinya dia juga harus merelakan mimpinya, Shindu mengambil keputusannya.
Malam itu juga. Shindu bertekad untuk tidak akan menyerah sebelum mendapatkan maaf dari Pandu. Dia tidak akan berhenti mendekati Pandu, sebelum kakak laki-lakinya itu menerima Shindu sebagai adik kandungnya.
Maka, di sanalah Shindu berada sekarang. Berdiri lemas di lahan parkir restoran tempat Pandu bekerja sampingan.
Shindu melepas maskernya dan tersenyum puas. Kepalanya pusing, kakinya lemas, tapi dia tidak peduli.
"See... i'll fine if i think so...." Dia tersenyum lebar dan sekali lagi menyocokan alamat yang dia dapat sebelumnya dengan tempatnya berada sekarang.
Cocok.
Sepertinya Shindu tidak salah memilih informan. Dia mengangguk mantap, masih dengan tersenyum Shindu melangkah pasti ke dalam restoran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...