25. Tahu Kupat Pasar Kembang

2.7K 389 138
                                    

"Tidak ada yang tahu dalamnya hati. Jangan diselami! Atau kamu akan tenggelam. Tunggu saja! Hingga riaknya memberitahumu dengan suka rela."

--Shindu Wijaya--

***

Sudah dua hari ini Shindu menumpang di kamar kost Pandu. Hubungan mereka pun membaik, semakin dekat, mendekati hubungan kakak beradik.

Shindu bahagia tentu saja. Ternyata absennya Siti membawa berkah. Dia juga tidak perlu lagi merahasiakannya dari Pukas. Karena di pagi harinya setelah malam pertama Shindu menginap di kost Pandu, Shindu mengirim pesan pada Pukas dan memberitahu semuanya.

Walau awalnya Pukas sempat menolak dengan berbagai alasan, dan faktor yang paling utama adalah kesehatan Shindu. Namun, akhirnya Pukas berubah pikiran.

Bahkan Pukas ikut menyiapkan kebutuhan Shindu. Dia membawa dua buah bed cover yang bisa dijadikan alas tidur untuk Pandu selama Shindu menempati tempat tidurnya. Pukas juga rajin mengirim makanan sehat untuk sarapan keponakan-keponakannya itu.

Pukas banyak membantu mereka. Hingga pagi ini, pagi ketiga Shindu bisa sarapan berdua dengan Pandu. Bubur ayam rumahan buatan Evita masih terasa hangat di leher Shindu. Dia memang lebih suka sarapan dengan yang manis-manis, tapi karena ada Pandu menemaninya, apa pun jadi manis di lidah Shindu.

"Enggak lupa kasih kabar Pak Jaka, kan Shin?"

Shindu hanya mengangguk menjawabnya. Mulutnya masih penuh dengan bubur.

Jika mengingat pagi ini Pandu yang akan mengantarnya ke sekolah, rasanya Shindu ingin terus tersenyum. Kebetulan, jadwal kuliah Pandu tidak terlalu pagi. Jadi kakaknya itu bisa mengantar Shindu terlebih dulu sebelum pergi ke kampusnya.

Karena sebelum-sebelumnya, Shindu hanya bisa melihat Pandu di pagi hari. Itu pun hanya untuk sarapan bersama, kemudian Pandu akan pergi lebih dulu karena jadwal kuliah paginya. Sedangkan di malam harinya Pandu baru pulang setelah jam sebelas, saat Shindu sudah terlelap tidur.

"Yaudah, kalau gitu cepetan makannya!"

Shindu menelan cepat suapan terakhirnya. Dia menyerahkan mangkuknya pada Pandu yang berdecak tidak suka melihat bubur Shindu yang masih tersisa banyak. Sedangkan Shindu hanya tersenyum cengengesan. Anak itu bergegas mengambil tas juga jaket kemudian keluar kamar lebih dulu untuk mengenakan sepatu.

"Makan yang banyak Shin, berat badan kamu gak seimbang tuh sama tinggi badan kamu."

Pandu berteriak dari atas motor matic-nya. Shindu mendengarnya, dia hanya mengangguk dan tersenyum dengan mata kecilnya yang melengkung manis. Pandu mulai menunjukan perhatiannya, dan Shindu senang luar biasa.

Tidak ada lagi kecemasan yang sebelum ini menghantuinya.

Begitu sampai di depan sekolah Shindu, Pandu mematikan mesin motornya. Dia melepas helm, kemudian memperhatikan Shindu yang kesulitan melepas helmnya. Pandu berdecak dengan hembusan napasnya yang kasar. Tangannya terulur membantu Shindu.

"Dasar manja!"

"Shin gak manja, Mas. Cuma belum terbiasa."

Shindu melihat Pandu tersenyum, dan sejak saat itu Shindu rela dipanggil dengan sebutan anak manja asal bisa membuatnya melihat senyum itu lagi.

"Pulang jam berapa?"

"Kalau Kahfi gak ngajak kemana-mana dulu jam dua udah pulang, Mas."

"Pulang sekolah ya langsung pulang! Jangan mampir-mampir! Nanti tungguin di sini, aku yang jemput."

Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang