17. Tidur Juga Butuh Istirahat!

2.9K 361 52
                                    

"Orang asing seperti keluarga, keluarga sendiri seperti orang asing. Bingung, 'kan?"

-Shindu Wijaya-

***

Shindu mulai meragukan takdir yang tertulis untuknya dan kedua orang yang kini duduk tepat di depannya. Jika sedari awal mereka terlahir sebagai orang asing, kenapa sekarang Tuhan seolah memberi mereka jalan untuk saling mendekat?

"Jadi kamu pingsan bukan karena dihajar Kahfi?"

Kayla--kakak perempuan Kahfi--kembali bertanya. Dia duduk di depan Shindu dan memandang Shindu lekat-lekat. Sedangkan Shindu, dia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. Dia hanya mengangguk kecil dan meremas piyama rumah sakitnya. Jantungnya berdebar terlalu cepat, dan wajahnya terasa panas.

"Kan, Mbak sih gak percayaan. Kata Bu Evita, nih anak emang uda penyakitan. Jadi bukan gara-gara Kahfi, Mbak."

Kayla mendelik tajam pada Kahfi. Alis tebalnya hampir menyatu. Kemudian dengan tangan kanan dia menepuk-nepuk kepala belakang Kahfi cukup keras. Membut Kahfi sedikit meringkuk ketakutan. Lucu sekali.

"Kamu memang gak salah, tapi nih mulut juga harus dijaga! Bisa gak sih ngomongnya lebih sopan, Dek?"

Shindu tersenyum geli melihat mereka. Tangannya terulur, menahan tangan Kayla yang masih memukul kepala Kahfi tanpa ampun.

"Kahfi gak salah, Mbak. Jangan dipukul lagi, kasihan."

Hatinya menghangat. Belum lama mereka bertemu, dan rasanya seperti mereka telah menjadi keluarga. Shindu suka, dan dia ingin selalu berada di sekitar mereka.

"Tadi siapa nama kamu?"

"Shindu, Mbak."

Kayla tersenyum, kedua matanya berbinar hangat dan Shindu jatuh cinta pada binar itu.

"Ganteng, kaya artis Korea. Kamu orang Cina ya?"

"Mbak jangan kumat deh, malu-maluin!"

Kayla kembali memukul Kahfi, tapi anak itu malah tertawa cengengesan. Mereka berdua asyik bercanda dan melupakan Shindu yang menyaksikan kedekatan keduanya dengan mata merah berair.

Sulit menjelaskan apa yang tengah dia rasakan. Jelas Shindu bahagia. Namun kebahagiaannya bercelah, menyisakan rasa sakit di sana. Ibarat rindu yang meradang kini terobati sudah, tapi tetap meninggalkan bekas.

Terlanjur ada jarak di antara mereka. Shindu tidak tahu apa, kenapa, dan bagaimana. Yang Shindu tahu sakit rasanya ketika orang-orang yang entah bagaimana dia rindukan kini dalam jangkuan, tapi Shindu tidak bisa memeluk mereka. Tidak bisa meminta mereka tetap tinggal di sampingnya.

Karena mereka asing satu sama lain.

***

"Jadi, tadi pagi kamu ketemu anak yang sudah bikin kamu dapat serangan jantung dan kamu baik-baik saja?"

Shindu mengangguk singkat, kemudian bangkit dari sofa menuju kamarnya. Dia kembali membawa jaket, masker, dan sunglasses. Menimbulkan tanda tanya di benak Pukas.

"Mau kemana?"

"Uncle Cas, anterin Shin cari dinner."

Pukas berdecak tidak percaya. Baru tadi siang anak itu sampai rumah, dan sekarang sudah rewel minta macam-macam.

"Khan ada Bu Siti, Shin. Kamu pengen makan apa? Biar Bu Siti masakin."

Tanpa peduli saran Pukas, Shindu berlalu begitu saja. Dia sibuk dengan aplikasi ojek online di ponselnya. Ini bukan tentang makan malam yang diinginkan Shindu. Ini tentang bagaimana rindunya anak itu pada Pandu.

Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang