"Jika kamu tidak pernah tahu apa itu keluarga. Siapkan hatimu, karena keluarga ternyata begitu merepotkan."
--Pandu Dharma--
***
Pandu tidak sedetik pun mengalihkan perhatiannya dari Shindu yang masih terlelap di atas brankar. Tangan kiri Shindu terbalut perban cukup tebal, tangan kanannya tertancap jarum infus, dan sebagian wajahnya tertutup oleh masker oksigen.
Setelah Pukas mengatakan jika ada sedikit masalah dengan paru-paru Shindu, dia memutuskan untuk membuat Shindu tertidur lebih lama agar anak itu bisa beristirahat. Dan Pandu mengiyakan, jika itu yang terbaik untuk Shindu.
Dan sekarang sudah lebih dari delapan jam Shindu tertidur. Pandu sempat pulang ke kost-nya untuk sekadar berganti pakaian. Walau Pukas memintanya datang keesokan hari, Pandu tidak menghiraukan dan tetap kembali untuk menemani adiknya.
Pandu tahu jika Pukas akan menjaga Shindu lebih baik darinya. Namun, tetap saja. Pandu tidak tenang jika tidak melihat Shindu. Shindu adiknya, dan dia lah yang berkewajiban menjaganya.
Maka di sinilah Pandu berada. Duduk di samping brankar Shindu, berharap adiknya itu segera bangun dan kembali merengek padanya. Padahal jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, tapi Pandu tidak sedikit pun merasakan kantuk.
Pukas juga sudah berulang kali meminta Pandu untuk beristirahat. Katanya Shindu paling tidak akan bangun keesokan harinya, jadi Pandu tidak perlu cemas. Namun hanya dianggap angin lalu oleh Pandu. Dia hanya merasa takut jika Shindu bangun dan mendapati dirinya tertidur. Pandu tidak ingin itu terjadi. Entah apa alasannya.
Padahal Pandu juga sudah tahu dari Pukas bagaimana mandirinya Shindu di rumah sakit, dia juga sudah menyaksikannya sendiri sore tadi.
Saat mereka sampai ke poli klinik umum, Shindu yang masih dibantu berjalan Pandu menunjuk ke arah UGD.
"Sus, tolong kursi roda! Saya sudah gak kuat jalan."
Dia setengah berteriak pada suster yang sibuk menanyakan apa yang terjadi pada Shindu dan berniat menuntunnya ke brankar tanpa kursi roda.
Pandu mengerjap tidak percaya, suster itu setengah berlari dan kembali dengan membawa kursi roda. Dia mendorong Shindu ke salah satu bilik UGD yang kosong, kemudian membantu Pandu menidurkan anak itu di brankar.
"Di mana dokter jaganya sus? Bilang kalo saya pasien dengan luka kecil tapi dengan konsumsi antikoagulan tiga miligram setiap harinya!"
Shindu kembali bertanya, diikuti penjelasan tentang kondisinya yang Pandu tidak mengerti. Pandu memang tahu jika dulu Shindu sakit, dia juga tahu kalau Shindu sudah mendapatkan donor jantung. Yang Pandu belum mengerti adalah Shindu yang sampai sekarang masih harus meminum obat-obatannya.
Suster yang semula ingin merawat luka Shindu, menghentikan kegiatannya. Dia berlari berteriak pada temannya menanyakan keberadaan dokter jaga UGD sore itu. Tidak membutuhkan waktu lama, tibalah seorang dokter muda. Kemudian dengan cekatan dia merawat Shindu.
Bisa Pandu liat, Shindu yang sesekali mengernyit kesakitan. Namun, anak itu tidak banyak mengeluh dan memilih mengatur pernapasan untuk mengendalikan rasa sakitnya.
Ternyata Pukas benar, Shindu sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit. Hingga dengan mudah Shindu bisa mengendalikannya.
Pandu terbayang bagaimana perjuangan Shindu dulu melawan penyakitnya. Jika waktu itu Shintia lebih memilih Pandu dan meninggalkan Shindu hanya dengan Rama, apa yang akan terjadi pada anak itu?
Jika Pandu saja yang diberikan kesehatan rasanya sangat menderita tanpa kehadiran Shintia. Bagaimana dengan Shindu? Entah bagaimana selubung rasa bersalah menguasai hati Pandu. Tidak seharusnya selama ini dia melupakan Shindu, padahal Shindu menjadikan dirinya sebagai sosok penyemangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...