"Aku datang untuk membagi kasih sayang Ibu. Tapi jika kamu ingin memilikinya seorang diri, bagaimana jadinya aku?"
--Shindu Wijaya--
***
Sebenarnya Shindu adalah anak yang penurut. Dia jarang bertingkah, merepotkan, dan membuat orang-orang di sekitarnya cemas. Jarang sekali.
Namun, kali ini situasinya berbeda.
Ada Pandu, duduk tenang di depannya, sambil membaca intensif buku teks bahasa jawa milik Shindu. Benar-benar di depan Shindu. Ini bukan ilusi, apalagi mimpi.
Maka, Shindu memilih mengubah setelan ponselnya dalam mode diam tanpa getaran. Memilih untuk tidak menghiraukan panggilan telpon dari Joko, pun Pukas yang mencemaskannya.
Tadi, selepas menghabiskan mie instan rasa ayam bawang buatan Pandu, Shindu memohon pada Pandu untuk membantunya belajar bahasa jawa. Dan anehnya Pandu tidak menolak. Dia hanya mendengkus sebal kemudian mengambil buku pelajaran Shindu dan membacanya.
Shindu senang luar biasa. Dia masih belum percaya. Hari ini seperti mimpi, tidak ada penolakan dari Pandu seperti biasanya. Pandu membiarkannya tinggal, memberinya makan, dan sekarang membantunya belajar.
Bibir tipis Shindu tidak lepas dari lengkung kebahagiaan. Mata kecilnya masih belum beralih dari Pandu yang terlihat begitu nyata di depannya. Dia tidak peduli lagi pada kesulitannya belajar bahasa jawa. Jika Pandu memintanya menyalin, dia lakukan. Saat Pandu memintanya menjawab pertanyaan, Shindu kerjakan semampunya.
Shindu terlalu bahagia, dia hanya tidak rela menyelipkan sedikit kesulitan di dalamnya. Bahkan seremeh beban belajar bahasa jawa yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya.
Namun, sialnya kebahagiaan Shindu malam itu menyeretnya pada suatu kondisi yang biasa orang sebut tidak sabaran. Shindu tiba-tiba menginginkan lebih, dia terburu-buru dan merusak segalanya. Padahal obrolan mereka malam itu santai, walau masih berkutat seputar pelajaran. Paling tidak Pandu sudah mau mengobrol dengan Shindu, tidak seperti sebelumnya.
Hingga Shindu mengajukan sebuah pertanyaan yang mungkin mengganggu Pandu.
"Mas, apa yang membuat Mas Pandu begitu sulit nerima Shin lagi? Apa karena mommy?"
Shindu tahu jawabannya, tapi dia ingin sekali mendengarnya langsung dari Pandu. Hanya saja Shindu menanyakannya di waktu yang kurang tepat. Saat Pandu bahkan tengah mencoba menerima Shindu kembali, anak itu malah mengingatkannya pada alasan kenapa dia harus melupakan Shindu.
Pandu bungkam. Dia menutup buku pelajaran Shindu, meletakannya di atas meja kemudian berlalu meninggalkan Shindu di kamar kost-nya seorang diri.
"Aku tinggal soal Isya' dulu!"
Shindu tidak menyesal karena telah mengajukan pertanyaan yang mungkin bisa merusak hubungan yang baru mereka perbaiki. Tidak, karena dia yakin Pandu juga ingin mengungkapkan isi hatinya.
Yang dia sesali adalah kenapa masih begitu sulit bagi Pandu untuk terbuka dengannya. Jika Pandu terang-terangan meminta Shindu untuk memohon maaf padanya, pasti akan Shindu lakukan. Jika Pandu meminta kembali Shintia, Shindu yakin dia rela membaginya.
Hanya itu.
Shindu berharap, malam itu dia akan menjumpai Pandu yang seperti dalam angannya.
Namun sayangnya, Shindu tidak mendapatkannya. Hampir setengah jam dia menunggu Pandu kembali, dan kakaknya itu tidak kunjung datang. Punggungnya sakit, dan kakinya pegal sekali rasanya. Jadi Shindu memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis Pandu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...