8.Harapan, Ya... Harus Besar

2.9K 344 31
                                    

"Andai aku tidak bisa merasakan sakit, pasti semua akan lebih mudah. Lebih mudah untukmu menyakitiku, dan lebih mudah bagiku untuk terus mendekat padamu."
-Shindu Wijaya-

***

Shindu bungkam dalam sisa perjalanannya. Dia tidak lagi berani menanyakan kesanggupan Putri untuk membantunya bertemu dengan Pandu.

Mata kecilnya hanya tertuju pada dua hal dan terus berulang. Jika tidak pada lalu lintas di jalan, maka raut wajah Putri yang masih sulit ditebaklah objeknya.

Shindu jadi bertanya-tanya.

Sebenarnya apa yang membuat Putri begitu berat untuk sekedar mengiyakan permintaannya.

Apa pun itu Shindu masih tahu batasannya. Dia tidak mungkin lancang dan melangkah masuk ke ranah pribadi Putri.

Shindu tahu diri, maka dari itu dia memilih diam. Jika pun nanti Putri memberikan penolakan, dia harus berlapang dada, paling tidak Shindu pernah menyobanya.

Menit berlalu dan Shindu mulai memikirkan alternatif lain seandainya nanti Putri tidak bisa membantunya.

Keduanya masih diam hingga Putri membawa mobilnya memasuki area kampus UNS.

Shindu bersuara kecil dari kursi belakang, membaca tulisan besar yang terukir antik pada gerbang masuk UNS yang melengkung megah.

"Universitas sebelas maret? Mbak Putri?"

Shindu urung melanjutkan pertanyaannya ketika Putri mulai menepikan mobil. Dia menegakan tubuhnya dan menunggu Putri mengatakan sesuatu lebih dulu.

Iya, Shindu harus bersabar. Dia tidak boleh menuntut terlalu banyak, kenyamanan Putri adalah yang terpenting saat ini.

Dalam diamnya Shindu menunggu Putri yang mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengamannya, kemudian berbalik ke arah Shindu yang melihatnya penuh harap.

Dari mata Putri yang berkedip kaku, Shindu tahu gadis berjilbab itu tengah dilanda bingung.

Shindu jadi merasa bersalah karenanya.

Permintaannya yang sepele bisa jadi beban untuk Putri.

"Mbak Putri tunggu di sini aja ya, biar Shin yang nyari Mas Pandu."

"Mas Shindu tahu gedung FKIP?"

Shindu menggeleng dengan bibir tipisnya yang tersenyum kaku.

Putri berdecak kecil dan meraih ponselnya dari dalam tas.

"Sebentar Mas, saya tanya teman dulu. Mas Dharma kating saya jadi saya gak tahu jadwalnya."

"Iya Mbak, maaf merepotkan."

Shindu menurunkan kaca mobilnya, membiarkan deburan halus angin menggerakan poni coklatnya yang lembut.
Dia memang selalu begitu, selalu merepotkan.

Tidak apa, akan ada masanya dia akan direpotkan orang lain dan saat itu tiba dia akan berusaha sekuat mungkin, dengan hati yang tulus, dengan rasa ikhlas yang memenuhi rongga dadanya.

Shindu tidak sabar menunggu saat itu tiba.

***

"Mas Shindu beneran gak papa jalan aga jauh?"

Untuk kesekian kalinya Putri kembali menoleh pada Shindu yang jalan perlahan dengan kaki panjangnya.

Tidak tahu bagaimana baru Putri sadari penampilan Shindu benar-benar menyita perhatiannya. Celana cargo pendek warna hitam yg Shindu kenakan pas di kulit putih bersihnya, kaos hitam, tas punggung, topi, masker. Hah... Shindu benar-benar terlihat seperti salah satu member boyband Korea.

Shindu hanya mengangguk dengan mata sipitnya yang tersenyum manis.

Tidak dipungkiri, Putri sedikit khawatir dengan kondisi Shindu. Sebelumnya, Siti sudah berpesan padanya mengenai banyak hal tentang kondisi kesehatan tuan mudanya itu. Tapi mau bagaimana lagi, jarak lahan parkir dari tempat Pandu berada cukup jauh, dia juga tidak mungkin menyalahi aturan dengan memarkir di sembarang tempat.

Teman Putri bilang, Pandu sedang di masjid Nurul Huda sejak satu jam yang lalu setelah sebelumnya disibukkan oleh urusan osjur dan makrab. Semoga saja Pandu masih di sana.

"Mas Dharma...."

Shindu bingung melihat Putri yang tiba-tiba berteriak dan berlari menghampiri seorang laki-laki dengan kemeja lengan panjang warna hitam dan celana jeans biru.

Laki-laki itu menghentikan langkahnya, dia berbalik cepat dan tersenyum hangat begitu Putri mendekat.

Senyum yang sama dengan senyum hangat yang pernah Shindu dapatkan sebelas tahun yang lalu. Senyum yang hingga sekarang masih terekam jelas dalam ingatan Shindu.

Bagai magis, dengan ajaibnya selalu bisa menciptakan semangat baru bagi Shindu yang ingin menyerah pada penyakitnya.

Senyum seorang kakak yang begitu Shindu rindukan.

Shindu juga bisa melihatnya, saat tangan besar itu menyambut uluran tangan Putri.

Tangan besar yang dulu pernah menggenggam tangan Shindu. Tangan yang dari setiap sela jarinya muncul perlindungan untuk Shindu.

Shindu ingin kembali menggenggamnya.

Ingin sekali.

Tidak tertahankan.

Shindu coba mendekat. Dia ingin melihat wajah Pandu lebih dekat.

Berharap orang yang selama ini dia tunggu kehadirannya bisa mengingatnya.

Berharap Pandu memiliki memori yang sama dengan miliknya.

Berharap Pandu akan kembali memeluknya, menyerukan namanya dengan hangat, dan menggenggam tangannya dengan penuh perlindungan.

Harapan Shindu memang terlalu berlebihan.

Namun, selama sisa hidupnya, selama Tuhan masih memberinya kesempatan, Shindu berjanji untuk selalu memiliki harapan yang besar.

Dia tidak ingin lagi menjadi si pesimis lemah, yang selalu berlindung di balik penyakitnya.

Kali ini dia benar-benar menginginkan kakaknya kembali.

Dengan sepenuh hatinya, Shindu akan berjuang.

"Solo, i've found him."

12.10.18
Habi🐘








Solo, Please Help Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang