"Sial, aku paling benci dilupakan, terutama oleh orang yang tidak pernah sedikit pun aku lupakan."
-Shindu Wijaya-***
"Mas Shindu itu mas Dharma-nya, saya tinggal salat dulu ya Mas. Nanti kalo Mas Shindu sudah selesai tapi saya belum keluar, tungguin sini saja, jangan kemana-mana. Ok Mas?"
Shindu mengangguk gugup. Demi tanah kelahirannya, The Lion City yang tidak pernah ada satu pun singa di dalamnya. Shindu tidak tahu kenapa lidahnya kelu, lututnya tiba-tiba kaku.
Dia biarkan Pandu yang melangkah mendekatinya. Dia tunggu dengan senyum kaku saat Pandu semakin dekat dengan senyum ramahnya.
Pandu yang selama ini dia cari, kini di hadapannya. Shindu masih belum percaya, tapi ini nyatanya.
Semua kata yang pernah dia coba rangkai, tiba-tiba putus dan berceceran. Tidak meninggalkan sepatah kata.
Shindu bingung, lidahnya masih kelu. Awal yang mana yang harus dia pilih, basa-basi seperti yang biasa orang lakukan? Atau langsung pada maksudnya, langsung pada apa yang ingin dia tanyakan selama ini?
"Saya Pandu Dharma, Dek. Kamu dari SMA mana? Tadi kata Putri ada yang mau kamu tanyain."
Benar, bukan Shindu yang harus memulainya. Dia hanya harus menunggu Pandu bertanya, dan menjawabnya dengan sopan kemudian.
Namun, Shindu terlalu hanyut pada aliran suasana yang biasa orang sebut nostalgia. Hatinya dibuat bergetar, saat Pandu memanggilnya Dek.
Panggilan yang memang sedari awal sudah menjadi miliknya. Walau pernah terenggut lama, tidak apa. Kini dia dapatkan kembali.
Shindu terlalu hanyut. Lupa jika lelaki di depannya belum tentu menikmati kenangan yang sama dengan miliknya.
"Dek?"
Lupa jika Pandu menunggu jawabannya.
Rasa-rasanya Shindu sulit menggapai kesadarannya. Dia mengoceh cepat, tanpa paham maksudnya.
"Tonhouse IS Orchad, Mas. Shin sekolah di sana, du lu...."
Shindu melihat kerutan dalam di dahi Pandu, alisnya hampir menyatu. Kemudian dia menggeleng cepat, dan dengan senyum canggungnya Shindu coba kembali menjelaskan maksudnya.
"Maksud Shin, Tonhouse International School di Orchad Singapore, Mas. Tapi dulu, Shin sudah pindah Solo."
Pandu mengangguk, bibirnya yang sedikit menghitam tersenyum, dan Shindu lega luar biasa melihatnya.
"Jadi nama Kamu, Shin? Kita ngobrol di sana aja ya, sambil duduk."
Pandu melangkah, meninggalkan Shindu yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Shindu ingin meneriakkan namanya, tapi mana dia mampu?
Dia ingin bertanya, ingatkah Pandu pada dirinya. Namun, sanggupkah dia?
Maka Shindu melepas topi juga maskernya. Memperlihatkan wajah yang dulu selalu merengek pada Pandu, garis wajah yang dulu pernah Pandu suka.
Masih ingatkah Pandu pada mata itu, hidung, dan bibir itu?
Shindu tidak sabar, dia tidak mau lebih lama menunggu.
"Mas Pandu, ini Shin. Shindu Wijaya."
Langkah lebar Pandu berhenti, dia mendengar dengan jelas nama itu. Nama anak kecil yang dulu pernah datang bersama ibunya.
Anak yang pernah jadi adik tersayangnya.
Dulu.
Dulu sekali.
Pandu hampir lupa.
Dia ingin melupakannya, sedikit lagi dan mungkin akan berhasil.
Namun takdir apa yang datang padanya, nama itu kembali dia dengar. Nama yang bagi Pandu bagai kunci yang membuka kotak kenangannya, memaksa setiap kepingan ingatan untuk keluar. Ingatan yang membawa serta rasa. Rasa yang lama ingin Pandu benamkan dalam-dalam.
Pandu murka, dia berbalik dengan rahang tegasnya yang mengeras. Matanya meruncing tajam.
Namun, luluh seketika saat melihat wajah pucat Shindu.
Menyeret Pandu kembali pada masa lalu. Memaksanya mengingat-ingat bagaimana rupa Shindu kecil, dan membandingkannya dengan Shindu yang sekarang ada di hadapannya.
Rambut yang dulunya berwarna coklat terang, kini lebih gelap.
Matanya masih kecil, seperti terakhir kali Pandu melihatnya.
Bibir kecil lembab yang dulu selalu merengek memohon untuk digendong itu... kulit putih bersihnya....
Tidak ada yang berubah.
Juga raut pucat yang dulu selalu Pandu khawatirkan, masih ada pada Shindu.
Shindu hanya tumbuh tinggi, selebihnya dia tetap Shindu Wijaya. Bagian dari masa lalu Pandu yang ingin dia lupakan.
Shindu Wijaya yang membawa pergi ibunya. Pergi jauh sekali, hingga ibu tidak pernah kembali padanya, hingga Pandu susah menggapainya.
"Mas Pandu?"
Pandu masih diam. Dia menunduk. Enggan hanya untuk melihat wajah Shindu lebih lama.
"Ini adek, Mas. Mas Pandu lupa?"
Shindu mendekat, sekedar mempersempit jarak mereka. Walau sebenarnya dia ingin sekali memeluk mas Pandunya. Namun, sekuat hati dia tahan.
Shindu tahu, dia harus melakukannya perlahan. Namun dengan kepastian yang menunggu di ujung jalannya.
"Maaf, saya anak tunggal. Kamu salah orang. Kalau gak ada lagi yang mau kamu tanya soal BEM UNS, saya pamit."
Panggilan Dek itu lenyap seketika. Pandu melangkah pergi dengan kakinya yang panjang. Meninggalkan Shindu yang masih menahan napasnya.
Shindu hanya tidak ingin percaya, jika Pandu melupakannya.
Lututnya semakin lemas. Perutnya mulai mulas, melilit sakit ingin muntah rasanya.
Shindu bersandar pada pagar masjid. Tembok setinggi pinggangnya, yang berfungsi juga sebagai pot bunga. Memanjang cantik di depan masjid Nurul Huda.
Kenyataan jika Pandu melupakannya kenapa bisa sesakit ini rasanya?
Tenggorokannya mulai sakit, dan Shindu terbatuk sesekali setelahnya.
Dia tidak ingin jadi selemah ini. Dia harus kuat. Jika Pandu melupakannya, dia hanya harus membuat Pandu mengingatnya kembali.
Iya, benar. Semudah itu, Shindu yang tangguh pasti bisa melakukannya.
Perlahan, tapi penuh kepastian.
"Solo, please help me. Remind him of me...."
15.10.18
Habi 🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...