"Sebuah pertemuan tidak selalu menandai awalan. Begitu pun perpisahan, bukan merupakan akhir."
--Shindu Wijaya--
***
Baru pertama kali Shindu rasakan, ternyata menangis bahagia juga bisa menguras tenaga.
Buktinya, Shindu kelelahan dan segera jatuh tertidur setelah menemani Pandu menangis di lorong rumah sakit yang sepi pagi tadi.
Niatnya sih, istirahat sekalian melewatkan amarah Pandu padanya mengenai sarapan yang tidak bisa dia habiskan. Namun ternyata, begitu bangun Pandu kembali menyodorkan makan siang dengan menu yang hampir sama ke hadapan Shindu. Lengkap dengan segala nasihat Pandu yang Shindu pikir telah dia lewatkan.
Kejam memang.
"Jam makan siang udah lewat Shin, nih kamu habisin! Jangan kayak sarapan tadi!"
"Jam berapa mas?"
"Jam 2 lewat."
"Kok Shin tidur lama banget?"
"Gak usah bahas yang lain, makan siang kamu harus habis atau koper ibuk yang isinya penuh sama sepatu kamu mas bawa trus mas jual buat tambah dana usaha UKM mas."
Mata sipit Shindu melebar, kantuk yang semula tersisa kini sirna sudah. Dia tidak akan membiarkan enam pasang sepatu kesayangannya berakhir di tangan tuan mereka yang baru. Apalagi salah satunya adalah si Flyknit Air Max iD, yang dipesan oleh Rama khusus untuk Shindu.
"Mommy cerita ke Mas Pandu?"
Pandu membisu, dia yang berdiri membelakangi Shindu sambil membereskan isi tasnya tersenyum kecil. Tidak disangka respon Shindu akan seperti itu saat Pandu menyinggung tentang sepatu-sepatunya.
"Iya, ibu cerita semuanya. Termasuk kamu yang boros buat beli sepatu."
Shindu melongo tidak percaya, seberapa banyak yang Shintia dan Pandu bicarakan setelah dirinya terlelap tadi.
Bagaimana bisa dia sebut boros? Ahh ... lagi pula Shindu bukan fashionista yang gila belanja tanpa tahu gaya mereka sendiri.
Shindu tidak rela kalau dirinya dimasukan ke dalam kategori boros hanya karena sepatu-sepatunya. Bagi Shindu, boros adalah membeli sesuatu yang sia-sia. Tidak berguna. Sedangkan banyak sepatu yang dia miliki, tidak ada satu pun yang tidak berguna.
Hanya dengan melihat sepatu - sepatu itu berjajar rapi di sudut kamarnya saja membuat Shindu merasa tenang.
Bagi Shindu itu namanya sepadan, bukan boros.
"Shin gak boros, Mas."
"Iya, terserah kamu aja. Yaudah habisin makan siang kamu, trus capture piring kosongnya, kirim ke Mas. Nanti Mas juga bakal konfirmasi ke Om Pukas."
"Lho, Mas Pandu mau kemana?"
"Mas, ke Sriwedari sebentar. Temen - temen Mas danusan di sana. Gak enak hati, kalau gak ikut bantu."
"Danusan?"
"Iya, jualan buat nambah dana usaha UKM."
Shindu belum paham benar, dia hanya mengangguk kecil kemudian mulai menyendok makan siangnya.
"Yaudah, Mas pergi dulu ya Shin. Kalo ada apa-apa kabari Mas. Ok?"
Sebelum pergi, Pandu menyempatkan mengusap rambut Shindu.
"Mas, hati-hati!"
Shindu masih tersenyum bahagia, walau Pandu sudah jauh melangkah. Perlakuan Pandu baru saja benar-benar menyadarkannya, jika Shindu tidak sedang bermimpi. Bahwa Pandu sudah kembali menjadi bagian keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...