"Jangan ragu! Coba dulu selangkah, setelah itu jangan salahkan aku jika tiba-tiba kamu ingin berlari."
-Shindu Wijaya-***
Jangan salahkan Siti yang pagi itu sudah mengadu pisau dengan balok kayu.
Gaduhnya sampai ke kamar Shindu.
Shindu yang masih setengah sadar dari tidurnya menggaruk rambut coklatnya yang berantakan.
Matanya yang masih terpejam berkedut sesekali, penasaran akan suara aneh yang belum pernah dia dengar sebelumnya.
Hingga, "Ah... sorry Solo, im just not used to you yet."
Shindu membuka matanya yang sedikit bengkak, dan menyadari jika dia sekarang sudah tidak lagi di Singapura.
Dia tersenyum kecil, membuka selimut tebalnya, dan berjalan perlahan ke kamar mandi.
Pagi ini cerah.
Pagi ini Siti terdengar sangat bersemangat.
Pagi ini badan Shindu lebih segar dan semangatnya meluap.
Dia yakin ini adalah hari yang tepat untuk memulai langkahnya.
Langkah pertama selalu menjadi yang tersulit.
Karena itu, Shindu yang tidak pernah yakin bisa membuat banyak langkah dalam hidupnya mengharamkan kata ragu saat memulai langkah pertamanya.
Dia hanya akan melangkah dengan mantap, berhati-hati dengan langkah selanjutnya, menggunakan hatinya, dan yang terakhir mencoba bersahabat dengan persimpangan jalan.
Dengan itu, Shindu percaya dia akan segera sampai pada tujuannya.
Mendapatkan apa keinginannya.
***
Shindu keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah.
Sudah ada Siti di dalam kamarnya, merapikan kedua koper Shindu yang berantakan.
"Sarapan dulu Mas," tawar Siti, matanya tetap fokus pada pekerjaannya. Memilah kemeja dan kaos untuk kembali dilipat rapi dan ditata dalam lemari.
"Iya, makasih ya Buk Siti."
Shindu melangkah hati-hati, dia berjinjit melewati Siti yang duduk di lantai.
Kemudian mengambil ponselnya yang bergetar di atas nakas dan membawanya ke dapur.
Shindu menerima panggilan video dari Shintia di counter dapur sambil melahap sarapannya.
Semangkuk bubur gandum dengan stroberi, melon, jeruk, dan madu di atasnya.
Sepertinya Siti sudah tahu kebiasaan makan Shindu, jadi dia tidak perlu repot-repot pilah-pilih makanan.
"Morning honey, how are u hmm?"
"Never better, mom."
Shindu mengganjal ponselnya dengan gelas, jemari kurusnya berusaha mendapatkan posisi bagus agar dia bisa melihat Shintia dengan jelas tanpa harus repot memegangi ponselnya.
"Have you any breakfast, son?"
"Im having it, mom."
"Siti did great, right?"
"Hmm..."
Shindu bergumam kecil menjawab pertanyaan Shintia.
Mulut kecilnya penuh.
Shintia benar, Siti pintar memasak, tapi porsi yang dia buat terlalu banyak untuk Shindu.
Shindu tidak sanggup menyelesaikan sarapannya.
"Mom," panggil Shindu, dia mengambil selembar tisu, membersihkan bibir lembabnya. Kemudian fokus pada Shintia di layar ponsel.
"Hmm?" Shintia tersenyum kecil.
Dia masih tidak percaya jika kini mereka berjauhan.
Sedari kecil Shindu memang bukan sosok anak yang manja.
Walau dia sakit, Shindu bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik.
Dia tidak akan merengek pada Shintia atau Rama yang memang jarang pulang.
Jika dirasa ada yang tidak benar pada tubuhnya, Shindu akan menghubungi dokter pribadinya atau memilih berkunjung ke rumah sakit seorang diri.
Shindu tahu, dia terlahir istimewa.
Jadi dia juga harus menyesuaikan diri dengan keistimewaannya itu.
Bukannya malah mengeluh dan merengek pada orang tuanya.
Bukan gaya Shindu sekali.
Namun, bagi Shintia, Shindu tetap bayi kecilnya yang lemah.
Dia masih belum terbiasa dengan panggilan telfon Shindu yang tiba-tiba, yang mengatakan jika dirinya sudah berada di rumah sakit karena sedang merasa tidak baik-baik saja.
Shintia tidak habis pikir, bahkan dia mulai lupa sejak kapan putra kecilnya menjadi semandiri ini.
Kini mereka malah terhalang jarak ratusan kilometer.
Walau Shintia percaya Shindu pasti mampu, tapi dia belum terbiasa tinggal sendiri tanpa buah hatinya.
"Ada apa sayang?"
Shintia mengulangi pertanyaannya dengan lembut.
Dia menyadari, putranya tengah ragu saat ini.
Shindu menunduk, enggan menatap Shintia.
Poninya yang hampir kering sudah mulai panjang dan menutupi dahi putihnya.
"Doakan Shindu, mom."
"Hmm, always. Im waiting for a good news sweetheart."
Berat.
Shintia tahu, pasti berat bagi Shindu untuk melanjutkan kalimatnya.
Jadi Shintia menyambutnya, walau dengan setengah hati.
"Thanks, mom."
"Shindu, i know its hard for you too. so if someday its getting harder, you just stop and let me know. Ok?"
"I will mom. I love you."
Shintia tersenyum, dia melihat putranya mengangguk semangat.
"Love you more, son."
Panggilan pagi mereka berakhir dengan Shintia yang mengingatkan Shindu akan janji temunya dengan Pukas hari ini.
Shindu tidak lupa, dia juga tidak akan mangkir atau menundanya.
Dia ingin sehat.
Paling tidak dia harus dalam keadaan cukup baik untuk memulai perjuangannya.
"Solo, lets be friends."
1.13.18
Habi🐘

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...