Solo = Mas Pandu
"Aku tidak mau dengar kejadian seperti kemarin terjadi lagi pada Shindu, Rama. Shindu putramu satu-satunya! Kenapa dia harus repot menghubungi asistenmu hanya untuk bicara dengan ayahnya sendiri?"
"Maaf, Pa."
"Jaga mulut wanitamu! Jika sekali lagi dia berani menjauhkan Shindu darimu, aku tidak akan tinggal diam!"
"Satu lagi, Rama. Ingatkan pada mereka untuk tidak banyak berharap, karena bagi Mama, Shindu adalah cucu kami satu-satunya!"
"Baik, Ma."
"Ma, Pa, bisakah kita membicarakan hal lain? Shintia takut, Shin bisa mendengar semua yang kita bicarakan."
Samar, Shindu mendengar semua perbincangan antara Ayah, Ibu, dan Kakek, Neneknya.
Kesadaran Shindu belum sepenuhnya kembali saat itu, dia merasa mampu untuk sekadar menggerakan ujung jari tangannya, atau membuka kelopak matanya.
Tetapi, Shindu enggan.
Shindu ingin mendengar lagi kemarahan Sang Kakek. Dia ingin menyimak lebih banyak, tentang bagaimana Neneknya mengeluarkan peringatan-peringatan yang ditujukan pada keluarga Rama yang lain.
Entah bagaimana, Shindu senang mendengar Rama berujar maaf dengan penuh penyesalan saat itu.
Hari itu, adalah hari ke 127 Shindu tertidur dalam komanya.
Dan dia masih enggan untuk terjaga.
Shindu belum menemukan alasannya. Alasan kenapa dia harus bersusah payah bangun jika nantinya akan berakhir tersakiti oleh keadaan. Keluarganya yang berantakan, atau keberadaannya yang hanya menjadi penghalang bagi Shintia dan Pandu untuk bersua.
***
Di lain hari. Shindu kembali mendengar suara-suara di sekitarnya.
Ada Shintia, yang dengan telaten membacakan cerita King Dabchelim and Bidpai. Sudah puluhan kali Shindu mendengarnya, bahkan dia hampir hafal setiap katanya.
Selain suara lembut Shintia ada suara lain yang lebih jauh sumbernya. Suara gesekan antar kertas, Shindu rasa itu Rama, yang sibuk mempelajari berkasnya.
Sepertinya Shindu benar. Karena tidak lama, Shindu benar-benar mendengar suara Rama yang menjawab panggilan telpon.
"Ni hao? Gaosu ta! Wo hen kuai jiu hui hui ja."
Rama bilang jika dia akan segera pulang, dan saat itu Shindu tahu siapa yang menelpon Rama.
Shindu tidak suka.
"Pulanglah! Kasian, anak-anakmu pasti merindukanmu, Mas Rama. Sudah dua hari ini kan Mas gak pulang?"
Shindu makin tidak suka. Saat ini Shindu lebih membutuhkan Rama, baru dua hari Rama tidak pulang dan Shintia melepasnya begitu saja.
Shindu tidak terima.
Jika dulu Shindu merelakan kedua orang tuanya untuk berpisah, kali ini Shindu ingin egois. Shindu ingin melihat kedua orang tuanya saat membuka mata nanti.
Demi menahan kepergian Rama, Shindu berusaha menggerakan ujung jarinya.
Dan Shintia berteriak kaget dibuatnya.
"Mas, Shindu sadar!"
Rama mengurungkan niatnya untuk pulang. Dia kembali berlari mendekati Shindu dan Shintia. Dengan lembut Rama mengelus kepala Shindu.
"Hey boy, please open your eyes!"
Shindu berhasil.
Rama tinggal. Rama tidak akan pulang dan bertemu dengan anak dan istrinya yang menjengkelkan.
Kali ini, Shindu mendapatkan alasan kecil itu.
Maka, Shindu membuka matanya. Pandangannya kabur, tenggorokannya sakit luar biasa, belum lagi sekujur tubuhnya yang mati rasa. Shindu kewalahan, Shindu hanya mampu membuka matanya sebentar, meringis kesakitan sambil meremas jemari Shintia erat. Kemudian anak itu kembali tertidur.
Sejak saat itu kesadaran Shindu berangsur membaik.
Shindu merasakan sakit, dia merasakan lapar, dan yang paling membuatnya cemas adalah ketika dia harus berjuang keras untuk bisa berjalan dengan normal kembali.
Padahal rasa rindunya pada Solo, sudah tidak tertahankan lagi.
"Solo, please waiting for me."
01.06.19
Habi 🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...