"Iya, benar. Aku kenal sakit ini sejak bayi, tapi dia bukan temanku. Kami tidak seakrab itu."
-Shindu Wijaya-***
"Welcome brother Shindu."
Siti--istri Joko-- berdiri di ambang pintu, dia menyambut Shindu yang turun dari mobil dengan ragu-ragu.
"Mas Shindu bisa bahasa Indonesia buk," sahut Joko cepat sambil berusaha mengeluarkan dua koper besar dari bagasi.
"Ualah, alkhamdulillah."
Siti berseru lega.
Shindu tertawa mendengarnya, dia berjalan masuk kemudian duduk di ruang tamu meluruskan kakinya.
Rumah eyang tidak berubah.
Shindu menyukainya.
"Mas Shindu mau makan apa?"
Siti menawarkan, dia berdiri di depan Shindu dengan daster batik panjangnya yang menyentuh lantai.
"Susu hangat saja, Bu Siti. Sama minta tolong kabari mommy ya, kalau Shin udah sampai rumah."
Shindu menjawab sopan pada wanita 44 tahun itu.
"Nggeh Mas."
Siti berlalu, dia berjalan di belakang Joko yang membawa dua koper Shindu ke kamarnya.
Kamar favorit Shindu sejak dia pertama kali datang ke Solo. Terletak di tepi kolam renang dengan pintu kaca besar langsung menghadap ke kolam. Pantulan cahaya pada permukaan kolam yang bergerak-gerak di sebagian sisi kamar itulah yang paling disukai Shindu.
Bukannya pemilih, Shindu hanya tidak bisa tidur di tempat baru.
Dan saat itu, hanya pantulan air kolam yang bisa menyihir Shindu untuk tenang dan membantunya terlelap dengan mudah.
Sejak kejadian tersebut, kamar yang semula disediakan untuk tamu eyang yang ingin bermalam dialihkan sebagai kamar pribadi Shindu.
"Mas Shindu, tadi saya sudah telpon sibu. Bapak malam ini tidur di kamar belakang, kalau Mas Shin butuh apa-apa. Saya pamit pulang Mas."
"Shin di rumah sendiri gak papa Buk, Pak Joko diajak pulang aja."
Dahi Siti yang mulai keriput semakin berkerut, dia bingung. Siti ragu apa benar tidak apa-apa jika meninggalkan Shindu di rumah sendirian.
Sebelumnya Shintia sudah titip pesan pada Siti untuk tidak meninggalkan Shindu di rumah sendirian malam ini. Siti tidak keberatan sebenarnya, walau setiap harinya memang Joko dan dirinya tidak pernah menginap di rumah itu. Mereka akan pulang setelah tugas masing-masing selesai.
"Beneran Bu Siti, Shindu gakpapa. Nanti kalau ditanya mommy biar Shindu yang jawab."
Shindu kembali menegaskan pada Siti, tangan kanannya mengambil cangkir susu dan meminumnya perlahan.
"Yasudah mas, nanti kalau ada apa-apa telpon bapak aja ya mas."
"Iya Bu Siti...."
Siti mulai terdengar seperti Shintia. Shindu yakin jika Siti sudah terlalu banyak menerima informasi yang tidak penting dari Shintia.
Mereka terlalu menganggap remeh Shindu. Padahal Shindu yakin dirinya tidak selemah itu.
***
Selepas kepergian Siti dan Joko, Shindu pindah ke kamarnya.
Dengan lengan putih kurusnya Shindu membongkar satu persatu koper besar yang diletakan Joko di depan lemari kayu.
Tidak seperti rumahnya di Singapura. Tidak ada walk-in closet di kamar Shindu. Jadi Shindu harus pintar-pintar menyusun baju dan keperluan lainnya.
Memang dasarnya Shindu yang tidak pernah bisa melakukan apapun seorang diri. Shindu menyerah pada lembar kaos ke tujuh yang coba dia tata.
Selain melelahkan, Shindu pikir dirinya tidak cocok dengan pekerjaan rumahan seperti ini.
Sepertinya meninggalkan kopernya yang setengah berantakan untuk dirapikan Siti besok pagi adalah pilihan yang bijaksana.
Maka, Shindu beralih pada gorden lebar yang menutupi pintu kaca besar di depannya.
Jemari kurus Shindu menyibaknya cepat, dan ketika pantulan cahaya pada permukaan kolam mendesak masuk ke kamarnya, bibir tipis Shindu yang pucat tersenyum lebar.
Mata coklatnya yang indah semakin redup. Entah bagaimana pantulan cahaya itu menyihir Shindu, memaksanya untuk lekas memejamkan mata.
"Should i sleep now?" Shindu berujar pada dirinya sendiri.
Matanya setengah terpejam sambil berusaha menemukan sesuatu dari dalam ransel. Sebuah botol obat berwarna putih. Shindu mengeluarkan sebutir kemudian menelannya dengan bantuan susu buatan Siti sebelumnya.
Tanpa membersihkan diri, Shindu terlelap nyaman di atas ranjangnya.
Mencoba melepaskan benaknya dari ingatan yang sempat menghancurkannya.
Dan menggantinya dengan bayang-bayang esok hari yang abu-abu.
Belum nampak, namun pantut ditunggu karena menjanjikan banyak harapan baru bagi Shindu.
Dalam rapat matanya tertutup, bibir Shindu mengulas senyum.
Juga berjuta harapan lain yang selalu dia gumamkan dalam hati.
"Solo, please help me to face my next day."
28.9.18
Habi🐘

KAMU SEDANG MEMBACA
Solo, Please Help Me (Complete)
Short StorySolo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo dengan sebuah misi, sebuah tujuan terbesar yang pernah dia usahakan dalam hidupnya. Karena semua ya...